❝〔 𝖿𝗂𝗏𝖾 〕❞

91 19 30
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



*┈┈┈┈*┈┈┈┈*┈┈┈┈




Aksa depan mata, tak bisa tergapai karsa, memang penggambaran yang agak hiperbola. Kendati, arak-arakan awan temaram itu layak kubah pelindung yang terasa begitu sendu terhampar hampa. Karena, tanpa sepengetahuan siapa-siapa ada sembilu hadir di sana, barangkali bercabang dua. Meninggalkan kesan kelabu yang memenjara, seperti kutukan hujan si sulung Januari yang seakan tak kunjung reda membasahi. Padahal, ini sudah memasuki awal Februari.

Pada jam-jam krusial menuju siang seperti ini, biasanya akan ada satu-dua kereta kargo yang lewat. Dan setiap kali gerbong-gerbong tak kepalang panjang muncul, hati Biruna selalu mencelos sedih. Bahkan, dihari minggu yang seharusnya diisi oleh kalimat libur dulu disambung hari senin, para masinis itu tak bisa merasakan.

Lantas, entah sejak kapan tepatnya Biruna tak ingat, setiap kali akhir pekan datang, alih-alih menghabiskan waktu untuk bersenang-senang (karena sejenak bisa rehat melepas penat) Biruna lebih suka menghabiskan waktu di bukit dekat pemukiman kumuh.

Jangan salah paham dulu dengan kata ‘𝘬𝘶𝘮𝘶𝘩’ karena, dibalik itu ada landskap menakjubkan yang bisa kalian nikmati, gratis.

Ornamen yang kalau kata anak fotografi disebut 𝘢𝘦𝘴𝘵𝘦𝘵𝘪𝘬, tersaji apik. Gedung-gedung pencakar langit seakan menusuk horizon, jalan-jalan utama yang padat, dan segala hiruk-pikuk kota Jakarta nampak jelas dari sini. Bagaikan panorama kecil yang terus bergerak mengikuti kemana arah mata angin. Mungkin, sebab itulah Biruna terus kembali dan kembali lagi.

𝘉𝘦𝘥𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘢𝘸𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘯𝘪.

Alasan lain, Biruna suka sekali ketika rungu mendengar gemelatuk berisik yang seakan tak memiliki ujung dan akhir. Apalagi, ketika menuju lorong, dua kali lipat gemanya. Pula, aroma pekat oli tertinggal ketika roda-roda bergesekan dengan rel kemudian sekejap lenyap tertiup embus angin. Seperti relaksasi untuk kepalanya yang terlalu kosong dan sepi. Kendati, terlalu rumit apabila dinarasi.

Maka, seperti minggu-minggu sebelumnya, Biruna duduk diantara ilalang yang sudah sedikit meninggi. Rentang kedua tangan seraya mata terpejam, menghirup dalam-dalam kolaborasi aroma antara asap pekat dan bau khas rumput.

“Laki-laki seperti apa? Setidaknya supaya aku bisa punyai gambaran.” Pandangan Likana terpanah lurus ke depan, entah apa yang dia jadikan bahan pengandaian.

Bisa jadi, kini dia dibuat bertanya-tanya, mengapa langit kota Jakarta nampak jauh lebih dalam meninggalkan kesan dan pesan hari ini. Seperti, bukan abu-abu saja yang dia genggam, tetapi ketidakmampuan untuk utara segala yang terpendam. Sebab, semua hanya perihal gemerisik yang dipaksa kebisuan redam.

𝘔𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘤𝘶𝘳𝘤𝘰𝘭.

Atau barangkali, dia masih kebingungan dengan bagaimana sebenarnya pola pikir Biruna yang sukar sekali diterka. Bisa-bisanya, baru putus sudah minta dikenalkan dengan laki-laki lain. Tadi dia bilang, siapa namanya? Yushin? Bahkan, Likana tidak kenal pria mana saja yang sudah berhasil menyinggahi hati si taruni.

retorika, tanpa kataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang