Part 3 - Teman Lama

18 8 0
                                    


"Daripada tenggelam dalam mimpi penuh harapan, lebih baik bersiap menghadapi kenyataan."


***

Hidup bagaikan roda yang berputar. Ada kalanya di atas, ada masanya di bawah. Keterbalikan itu lah yang aku rasakan sekarang saat berhadapan dengan Arraf.

Si biang onar nomor 1 SMA Andalas. Anak yang dicap memiliki masa depan suram karena kenakalan melekat padanya seperti halnya bernapas. Namun, lihatlah saat ini. Dia sangat sukses.

Dengan setelan yang rapi juga aura yang gentle, dia kini merupakan pebisnis mapan yang bahkan diundang ke kampus sebagai pembicara.

"Benar-benar menakjubkan."

Aku mengatakannya sembari melihat ke luar. Dinding kaca food court membuat bayang diriku dan Arraf di sana. Sungguh, masa depan yang tak terbayangkan sebelumnya.

"Apa ini yang namanya kutukan juara kelas? Orang bilang, si juara kelas biasanya jadi budak korporat dan hidup biasa-biasa aja. Sedangkan, mereka yang menjadi bos, dulunya biang onar di kelas. Raff, bukannya itu takdir yang kejam?" tanyaku tersenyum getir.

"Aku bahkan lebih payah. Udah hampir d.o, tapi malah skripsi disuruh ngulang. Apa endingnya, aku bakal jadi sampah masyarakat?" Melanjutkan bicara, mataku mulai kembali berkaca. Tapi, aku berusaha keras menahannya. Apalagi melihat Arraf yang tidak berkomentar atas cerita menyedihkanku, aku jadi merasa malu sekaligus tidak nyaman.

"Ah, maaf. Seharusnya aku gak cerita hal-hal menyedihkan di pertemuan pertama kita."

Arraf tadi mengajakku berbicara sembari mentraktir kopi. Mengingat hubungan kami yang cukup dekat di masa lalu, aku pun mengikutinya. Dan entah kenapa semua cerita sedih itu mengalir dari bibir seperti air. Aku tidak seperti ini dengan orang lain, bahkan dengan Mas Athar, mulutku terkunci rapat.

Hanya karena dia adalah Arraf Sanjaya, pria paling realistis yang aku kenal. Seseorang yang akan tega membalas perkataan orang lain dengan kenyataan kejam tanpa peduli dia siapa. Sebab itulah aku nyaman. Daripada mengasihani dan seolah bersimpati padahal di bekalang mencomooh, aku lebih suka sikap kejam Arraf. Walau terkadang itu menyebalkan atau bahkan menyakitkan, tapi aku merasa aman sekaligus tidak memiliki kekhawatiran.

Dulu maupun sekarang, perasaan itu masih sama ... Aku berani bersikap menyedihkan, gila dan tidak waras. Hanya di depan dia seorang.

Lucu ya? Padahal, kita hanya sekedar teman sekelas. Namun, bila dipikir-pikir aku juga telah melihat seluruh perilaku bobrok Arraf. Jadi, tak masalah bagiku jika dia juga melihat kegilaanku. Ini adalah pasal tak tertulis di antara hubungan kita berdua.

Akankah dia juga bersikap sama sekarang? Atau dia sudah berubah? Tapi, perasaanku yang masih nyaman membuatku menyakini, Arraf tetaplah pribadi yang sama.

"Hhh ..."

Dia menghembuskan napas kasar sebelum menyesap Amerikano hangat di depannya.

"Aku gak berharap mendengar sesuatu seperti ini saat kita bertemu," katanya singkat.

Aku hanya bisa tersenyum kecut. Rasa was-was sedikit timbul saat aku menunggu reaksi lanjutannya.

"Pas dapat tawaran ngisi seminar di kampus ini, aku pikir kamu sudah lulus. Minimal kamu udah jadi pegawai tetap di satu perusahaan ternama. Atau sedang sibuk S2. Tapi, kenyataannya ... Gimana bisa kamu jadi donatur kampus dan sampe semester 14? Arun, are you kidding me? Apa benar, kamu Aruna Tasbiha ... Perempuan paling bersinar di sekolah dan digadang-gadang memiliki masa depan cerah?" Arraf menatapku dengan pandangan lurus ke depan.

Loving Me SlowlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang