01

193 18 0
                                    

“Bel, lo bisa diem dikit enggak? Tugas gue belum kelar.”

Itu ucapan Halilintar pada Beliung yang sibuk misuh-misuh karena kalah dalam bermain game. Ia segera menatap Halilintar yang tengah sangat fokus dengan tugasnya. Padahal mereka ini satu kelas, tapi kenapa Halilintar sangat sibuk, sedangkan Beliung begitu santai?

Jangan salahkan Beliung yang sangat pemalas, dia ini pemalas! Tapi, tidak sampai semalas itu. Dia masih buat tugas walau SKS. Iya, SKS, hobinya itu.

“Tugas apa, sih? Gue kok enggak inget ada tugas?”

“Lomba,” jawab Halilintar datar, “gue ada lomba Matematika minggu depan.”

“Woilah,” balas Beliung, ia meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian menopang dagu dengan malas. “Kerja lo gue lihat cuma lomba mulu dah. Enggak bosan atau gimana, sih? Gue lihatnya ae muak bjir.”

“Bacot.”

Beliung diam.

Saat ini lagi jam kosong, jadi, Halilintar mengambil waktu kosong itu untuk mengerjakan latihan yang Pak Petir—guru Matematika berikan padanya. Guru satu itu tegasnya bukan main, mana mirip lagi dengan Halilintar.

Iyalah mirip, orang Pak Petir itu kakak laki-lakinya Halilintar. Oke, fakta itu abaikan dulu, fokus lagi pada Halilintar dan Beliung. Beliung sekarang fokus saja menatap Halilintar yang sibuk dengan tugas dari si kakak tercintanya itu.

Waktu kemudian segera berlalu hingga bel berbunyi dan istirahat segera dimulai. Beliung segera berdiri, dia lalu berkacak pinggang, “Woi, yuk kantin, laper gue.”

Halilintar menghela napas, ia meletakkan penanya, mengambil ponselnya, kemudian segera berdiri. Ia menumpuk beberapa kertas menjadi satu, sembari berkata pada Beliung, “Duluan aja, gue mau ke UKS dulu.”

“Ngapain? Sakit lo? Makanya jangan banyak nugas, ada kepulan asap noh di kepala lo.”

“Bacot,” balas Halilintar, “pala gue pusing doang, enggak sampai begitu anjir. Mau minta obat pusing, dah lah, lo duluan aja, beliin gue bakso.”

“Siap gledek.”

Beliung segera pergi, sedangkan Halilintar langsung pergi ke UKS. Sesampainya di sana tidak ada siapa-siapa—ada, tapi, itu murid yang lagi rebahan di salah satu ranjang. Kalau dari wajahnya Halilintar tahu jelas itu siapa. Dia terkenal sebagai si penghuni UKS selama beberapa tahun ini—namanya Ais, julukannya Beruang Kutub atau si Paus. Soalnya hobi Ais tidur sambil peluk boneka paus.

Halilintar diam saja menatap pemuda yang lagi tidur itu. Dia selalu di sini, itulah yang Halilintar pikirkan.

Namun, dia mengabaikan itu, Halilintar segera menuju ke lemari dan membukanya. Ia mulai mencari obat pusing di sana. Sudah 5 menit berlalu, sayangnya obat pusing tidak dapat ia temukan, sampai tiba-tiba suara seseorang terdengar.

“Lo cari apaan?”

Si pemilik mata ruby menoleh dan langsung bertatapan dengan si pemilik mata warna lautan. Di sana Ais tengah menatapnya, ekspresinya datar, rambutnya agak acak-acakan. Dia menatap Halilintar dengan ekspresi sangat datar.

“Ehem! Woi, jawab anjing, bisu lo?” tanya Ais sebal.

Ia sudah turun dari ranjang UKS, lalu mendekat padanya dan agak mendongak. Oh, anak ini pendek, lebih pendek darinya, dan entah kenapa lucu saja jika dilihat.

“Obat sakit kepala,” jawab Halilintar datar.

Ais segera bergerak ke sebuah laci, ia membukanya, lalu mengambil sebuah kotak di sana. Ia lalu membukanya dan meletakkan beberapa obat di atas meja.

(BL) Beruang Kutub & Gledek (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang