Bab 19 | Berkat Wine

4 0 0
                                    

--Sarah's POV--

     Malam semakin larut, namun tamu undangan justru semakin ramai. Musik semakin keras, percakapan semakin ramai, dan suasana pesta semakin riuh. Sementara itu, kakiku mulai terasa nyeri, kepalaku berdenyut pelan, dan tubuhku yang lelah semakin terasa tak nyaman. Gaun yang kukenakan juga semakin membuatku semakin gelisah. Meski elegan, tetap saja membuatku merasa terlalu terekspos. Walau aku mengetahui ada banyak wanita lain yang mengenakan gaun yang lebih terbuka daripada milikku, tapi itu tidak mengurangi rasa canggungku.

     Pildo, yang sejak tadi membiarkan aku merangkul lengannya, tidak pernah berhenti membawaku berkeliling ruangan. Kami mendekati setiap tamu, dari yang tua hingga yang muda. Beberapa orang menyapanya dengan hangat, sementara ada yang memandangiku dengan tatapan yang membuatku risih. Tidak jarang aku merasa mata mereka beralih dari wajahku ke dadaku yang sedikit terbuka. Ada satu atau dua pria yang bahkan tidak berhenti memandangi tubuhku dengan cara yang membuatku sangat ingin mencecar mereka, atau sekadar menusuk mata mereka dengan garpu yang ada di dekat meja prasmanan.

     Rasa sakit di kakiku semakin tak tertahankan. Setiap langkah seperti menambah beban di punggungku, membuat tubuhku seolah-olah mengerang minta istirahat. Beberapa kali aku membisiki Pildo, memohon untuk setidaknya duduk sebentar, tapi setiap kali dia hanya menanggapinya dengan senyum tipis, menarikku lagi ke tamu berikutnya. Dia tampak tak peduli pada rasa tidak nyaman yang mulai menumpuk di setiap sudut tubuhku.

     Aku mulai mencapai ujung batas kesabaranku. Kalau Pildo tidak segera memberiku kesempatan untuk duduk, aku bersumpah akan kabur ke pojok ruangan, melepas sepatu hak tinggi ini, dan melarikan diri dari pesta. Aku semakin erat memeluk lengannya, berusaha mempertahankan senyum yang sudah mulai kaku di bibirku saat Pildo berbicara dengan tamu di depan kami.

     "Aku sudah tidak sanggup lagi," bisikku dengan suara serak, mencoba menahan rasa frustrasi yang mendesak. "Kakiku sangat sakit," aku mengulanginya, kali ini suaraku lebih lirih, tetapi penuh permohonan.

     Akhirnya, setelah sekian lama, Pildo menoleh padaku. Wajahnya masih dihiasi senyum manis yang sama, tetapi kali ini ada secercah perhatian di matanya. Dia memandangku sesaat, kemudian kembali menghadapkan wajahnya pada tamu-tamu di sekeliling kami. Dengan nada halus tapi tegas, dia berkata, "Maafkan saya, kekasih saya sedang tidak enak badan. Saya harus mengantarnya ke kamar sebentar."

     Tanpa menunggu jawaban dari para tamu, dia langsung menarikku menjauh dari mereka, membawaku melintasi ballroom yang luas itu. Langkahnya cepat, dan aku merasa setiap langkah semakin memperparah rasa nyeri di kakiku. Aku tidak peduli lagi di mana Yong Ju atau siapa saja yang mungkin melihat kami. Rasa sakit ini sudah cukup membuat pikiranku berputar hanya pada satu hal, bagaimana caranya segera duduk dan melepas sepatu ini.

     Ketika kami akhirnya keluar dari ballroom, rasanya seperti napas panjang pertama setelah lama menahan udara. Namun, perjalanan menuju lift masih harus melewati beberapa tamu yang berseliweran di lorong. Aku berusaha keras mempertahankan senyumku, walaupun aku sudah sangat ingin menarik napas dalam-dalam dan mengeluh sepuasnya.

     Begitu kami masuk ke dalam lift yang sepi, suasana seketika berubah. Pildo, yang sejak tadi menggandeng lenganku dengan penuh perhatian, tiba-tiba saja melepaskan tangannya. Aku terhuyung sedikit dan terpaksa bersandar pada dinding lift untuk menahan keseimbangan.

     "Aku boleh membuka sepatuku?" tanyaku dengan nada lelah, mencoba untuk tidak terdengar terlalu memohon.

     "Lakukan sesukamu," jawabnya tanpa emosi, bahkan tidak menoleh padaku.

     Suara acuh tak acuhnya membuatku merasa seolah-olah aku tidak lagi berarti. Sepatuku kulepas dengan cepat, dan rasa lega menjalar ke seluruh tubuhku saat kakiku akhirnya bisa bernapas lagi.

WHEN WINTER COMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang