Chapter 3

192 10 0
                                    

Earn menutup gerbang rumahnya, lalu melangkah semakin dekat menuju pintu utama. Rasa lelah menyelimuti tubuhnya, nyeri yang menjalar di tulang-tulang kakinya semakin terasa. Pintu rumah itu tertutup rapat, seolah memagari kesunyian yang membayang di sekeliling. Beberapa hari yang lalu, Mr. Lee baru saja kembali dari perjalanan luar kota. Dia memang jarang berada di rumah, begitu pula dengan Nathan. Hal-hal seperti ini yang terkadang memperparah kenangan-kenangan masa lalu, membiarkan mereka terus tumbuh, semakin sulit untuk dilupakan.

Earn berdiri di ambang pintu, terdiam beberapa saat sebelum akhirnya memutar kenop dan membukanya. Tak ada siapapun di ruang utama, suasana rumah benar-benar sunyi, nyaris tak berdenyut kehidupan.

"Digeser sedikit lagi, Pa."

"Begini cukup, Nath?"

Earn mendengar suara sayup-sayup dari arah rooftop. Dia melempar tasnya ke sofa, lalu berjalan menuju tangga. Langkahnya tertahan sejenak, dan dengan gerakan malas, dia melepaskan jaket almamater dan melemparkannya asal ke atas sofa. Dia berlari kecil menaiki tangga, tangan kanannya memegangi pegangan tangga, merasa seolah perlu menahan beban yang tak kasatmata.

Langkahnya semakin dekat menuju rooftop. Pintu rooftop terbuka lebar, memperlihatkan Mr. Lee yang sedang berdiri di atas kursi, sibuk memasang samsak tinju yang baru saja dibeli bersama Deon beberapa jam lalu. Mr. Lee menyadari kehadiran Earn dan menoleh, sementara kedua tangannya masih bergelut dengan tali-tali samsak tinju. Di sisi lain, Nathan melemparkan senyum lebar ke arah Earn, seolah bahagia melihatnya.

Nathan segera melepaskan tangannya dari kursi yang sedari tadi dipeganginya. Earn mengerutkan kening, merasa waswas.

"Bang, jangan dilepas begitu! Kalau Papa jatuh bagaimana?" protes Earn, suaranya sedikit tertahan oleh kekhawatiran. Nathan terkekeh pelan, merasa geli dengan kekhawatiran adiknya.

Mr. Lee dengan lincah melompat turun dari kursi tanpa ragu. Dia menghapus keringat di dahinya, lalu menghampiri Earn dengan senyum penuh arti, tangan kanan Nathan sudah meraih bahu Earn.

"Terima kasih, Earn. Aku suka hadiahnya," ujar Nathan dengan penuh semangat.

Earn mengerutkan keningnya lagi, kali ini lebih dalam. "Hadiah? Maksud kamu apa, Bang?" tanyanya kebingungan.

Nathan hanya mengangkat dagunya ke arah Mr. Lee, memberikan isyarat tak langsung.

"Dua hari lagi abangmu ulang tahun, sayang. Hadiahnya bagus sekali, Papa juga suka," tambah Mr. Lee, tangannya mengacak rambut Earn yang lembab oleh keringat.

Earn menghela napas panjang, lalu mengusap rambutnya yang sekarang berantakan. "Pa, itu bukan hadiah buat Bang Nathan. Aku beli samsak itu buat aku sendiri. Aku mau belajar tinju," jelas Earn dengan nada yang tenang.

Raut kecewa terpancar di wajah Nathan. "Wah, capek-capek malah kena prank," gerutunya sambil melempar hand wrap ke arah wajah Earn.

"Dasar!" hand wrap itu mendarat tepat di wajah Earn, membuatnya melotot kaget.

"Papa juga kecewa?" Earn menatap Mr. Lee dengan tatapan menyelidik. Mr. Lee hanya tersenyum hangat sambil menggelengkan kepala.

"Tidak, sayang. Papa senang kok," jawabnya sambil berlalu, meninggalkan Earn yang berdiri sendirian di rooftop.

Earn melangkah mendekati pagar rooftop, menurunkan pandangannya ke bawah. Kendaraan lalu lalang di jalanan di bawahnya, terlihat kecil dari ketinggian. Pikiran Earn kembali terhanyut ke masa lalu, mengingat sosok Fahlada yang selalu menghantui. Bayangan wanita itu, dengan rambut terurai dan langkah anggun, tak pernah benar-benar hilang dari benaknya.

Earn membalikkan tubuhnya, lalu menyandarkan salah satu kakinya di atas pagar. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasakan beban berat di dadanya. Nafasnya terengah, seolah tak ada udara yang cukup untuk dihirup.

IMPOSSIBLE2-ORMLING (On Going Di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang