💐
"Makanya, saya juga kaget. Kok mendadak banget tau-tau siraman si Daffa." Bu Sukun, warga di ujung jalan yang memang doyan ghibahin tetangga berbisik-bisik dengan temannya saat berjalan kaki hendak menuju ke rumah Gendis.
Kurang dari satu bulan persiapan selesai. Tentu saja buru-buru sebelum perut Yasmin nantinya semakin membesar.
Gendis sangat menjaga nama baik keluarganya. Tak mengapa ia dan Agung menanggung semua biaya pernikahan.
Tenda terpasang apik nuansa warna abu-abu muda dan putih. Di depan rumah ada janur kuning hingga hiasan anyaman dari daun kelapa.
Tetangga satu RT diundang acara siraman. Esok hari akad nikah lalu resepsi siang harinya.
Seragam keluarga dipilih Gendis warna ungu tua. Gendis begitu cantik dengan sanggul khas jawa, dua anak perempuannya juga berdandan yang sama.
Daffa sudah bersiap keluar dari dalam rumah menuju ke tempat siraman yang ada di halaman rumah.
Pemandu acara mulai memandu, Daffa berjalan keluar dari dalam rumah didamping ketiga adiknya. Ia tampak bahagia, tersenyum lebar padahal ada Gendis yang kecewa. Rasanya kalau bisa kutuk anak sendiri, sudah ia kutuk jadi pinokio saja.
Seharusnya, ada acara midodareni, tapi berhubung Gendis kesal dengan keluarga Yasmin, ia batalkan. Enak aja mau semua adat jawa tapi memberatkan biaya ke pihak lelaki, ya ikuti kemauan Gendis lah kalau begitu.
Acara utama selesai, dilanjut ramah tamah. Gendis memesan catering service dari kenalannya di dunia bisnis makanan. Ia tak pelit, karena malas sampai dibahas warga jika makanan kurang banyak atau kurang enak.
"Bu Agung, terima kasih undangannya," ucap Bu Sukun.
"Eh, Bu Sukun, makasih sudah datang." Keduanya bercipika cipiki.
"Kami kaget, lho. Kok tau-tau Daffa nikah. Siapa calonnya?" sambung Bu Sukun.
"Calonnya anak manusia, kok. Besok dateng ya, nggak usah siapin amplop, dateng aja ke hotelnya ya. Bawa undangan aja, karena tamunya didata pakai barcode, tau kan maksud saya?" Gendis sengaja. Ia tau Bu Sukun itu suka mancing-mancing bahasan, sekalian aja direndahkan Gendis tanpa ragu.
"Paham, dong," tawa Bu Sukun dengan terpaksa. Ia kipas wajahnya dengan cepat, lalu diam.
Gendis menyapa tamu lainnya, tak kesusahan berjalan walau memakai kebaya lengkap dengan sanggul tradisional.
Sementara Agung berbicara dengan Daffa dan Raffa di kamar saat putra sulungnya berganti baju setelah siraman.
"Ayah mau ngomong sama kamu, Bang," tukas Agung mulai bersuara. Daffa yang sudah rapi, duduk di hadapan ayahnya.
Agung mengatur napas lebih dulu sebelum bicara. "Kamu tau sudah bikin orang tuamu kecewa?"
"Iya, Yah." Daffa seketika sendu.
"Ayah bisa minta tolong ke kamu untuk berubah lebih serius? Jangan lelet, malas, apa-apa harus diingetin. Sebentar lagi sudah ada istrimu yang seharusnya bisa lakuin itu, buat Ibumu lagi." Agung menjeda. Raffa hanya diam menyimak sambil bersandar pada lemari pakaian.
"Ayah sudah siapkan rumah untuk kalian tinggali, barang-barang semua lengkap. Kalian tinggal masuk aja. Tidak semua orang tua mampu menyiapkan ini, Bang. Ayah minta kamu hargai pengorbanan kami dengan jadi suami dan Ayah yang baik. Serius lah bekerja, ada dua anak manusia yang jadi tanggung jawab penuh kamu, Bang."
Daffa mengangguk paham.
"Bang, kamu tau Ibumu yang paling terluka dengan hal ini, kan? Jangan bikin Ibumu sedih lagi." Agung menyeka air matanya. Daffa mengangguk lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mertua masa gini?
General FictionTidak semua mertua jahat seperti ibu tiri kejam bak dongeng. Namun, tidak semua mertua selalu salah dalam bertindak apalagi mencampuri urusan anak dan menantunya. Mari kenalan dengan Ibu Gendis. Wanita beranak empat yang anti manja-manja club apa-a...