Teriknya matahari tidak menghentikan seorang gadis kecil bermain dengan riang di area taman lapang yang berada tak jauh dari lokasi rumahnya.
Saking seringnya gadis ini bermain di luar rumah dengan cuaca panas yang terik, tak heran kulitnya berwarna sawo matang.
Belakangan ini dia sangat suka bermain-main dan menghabiskan waktunya di taman ini sendirian. Seakan asyik dengan dunianya, menguasai dan mengklaim tempat ini menjadi miliknya.
Hanya saja, kesenangan itu tidak berlangsung lama. Karena seseorang tampak berjalan menghampiri area taman itu berada.
Dengan langkah yang cukup terburu-buru, orang itu datang dan tiba tepat di taman. Dengan sedikit memekik, orang itu memanggil nama sang gadis yang bermain di sana.
"Fresya, ayo pulang!"
Gadis itu berhenti dari segala aktivitasnya dan membalikkan tubuh, menghadap si pemanggil namanya. "Mama?"
Fresya Amarajaya Wardhani, gadis sembilan tahun dengan kulit sawo matang serta tubuh jangkung itu memberikan atensi penuhnya pada Ara, selaku ibu kandungnya.
Panggilan itu terasa mutlak karena Fresya tidak pernah berniat memberontak ketika mendapat perintah. Gadis itu segera meninggalkan permainannya dan kini berlari mengejar ibunya.
"Tapi, Ma. Frey masih mau main," ungkapnya jujur. Fresya berterus-terang.
"Iya, mama tau, tapi tante Chika udah pulang dari liburan. Kita harus sambut mereka, dong, kayak biasanya. Masa lupa?" jelas Ara. Fresya mengangguk kecil dan memegang tangan ibunya sembari berjalan mengikuti langkah yang dibuat Ara. Bak menyetarakan.
"Oh, jadi si cebol itu udah pulang? Kenapa nggak lama-lama, sih, liburannya?" dumel Fresya yang masih dapat didengar Ara. Dengan kekehan singkat, Ara merespons dumelan tersebut.
"Kenapa? Kamu jadi nggak bisa nguasai taman ini lagi, ya?" tebak Ara. Fresya mengerucutkan bibirnya dan melancarkan anggukan. Apa yang ditebak oleh ibunya 100% akurat dan benar.
Fresya tidak perlu menyangkal jika itu ibunya.
"Si cebol itu pasti bakal jadi pengganggu."
"Nggak boleh, loh. Kamu suka banget ngeledek Floren begitu," tegur Ara sambil mengeratkan pegangan mereka.
"Abisnya," balas Fresya.
Kembali Ara terkekeh atas respons anak tunggalnya. Di sisi lain mencoba memaklumi sifat anak kecil yang memang masih sulit untuk diberi nasihat. Akan selalu ada penyangkalan dari mereka.
«•••»
Sampai sekarang, satu-satunya hal yang tidak pernah aku mengerti hanyalah Floren Shavina. Aku tak peduli mau orang memanggilnya dengan nama apa pun, tapi bagiku "Si Cebol" adalah panggilan yang paling tepat untuknya.
Dia benar-benar pribadi yang aneh. Lebih aneh lagi, mamaku meminta untuk menjadi temannya.
Memang, pada awalnya aku tidak melakukan penolakan. Aku bahkan bersedia berteman dengannya. Tapi itu sebelum aku mengenalnya, tepat setelah aku mengenal kepribadiannya, tampaknya aku mengurungkan niat itu.
Floren adalah sosok yang terlalu pendiam, gadis itu nyaris tak pernah berbicara. Dia hanya akan membuka suaranya ketika berada di sekitar ibunya. Momen ini sama sekali tidak terjadi jika Floren berada di sisiku. Gadis itu akan terus diam dan diam. Selalu sibuk dengan boneka stroberi yang ia bawa kemanapun gadis itu pergi.
Aku kerap mencoba berkali-kali untuk berbicara dan mengajaknya bermain, tapi gadis itupun terkadang hanya memandangku ragu dan lebih memilih duduk sambil berbicara dengan bonekanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TTM: Teman Tapi Musuh?
Teen FictionIni kisah Si Kutu Kupret dan Si Cebol Galak. Persahabatan yang telah dijalin bertahun-tahun oleh ibu mereka tampaknya tidak sepenuhnya dapat diwariskan kepada dua anak gadis ini. Fresya dan Floren namanya. Di sini, Ara dan Chika berjuang untuk membu...