7. Apa tipe idaman, Kakak?

16 2 0
                                    

"Lalu bagaimana caranya agar bisa dicintai Kakak?"

Saat ini, angin tertiup kencang dan tidak ada suara lain yang terdengar. Yang tersisa hanya deru nafas yang tertahan, seakan masing-masing dari mereka mencoba menyamarkan jejak keberadaannya dengan berdiam diri.

Dari balik kacamatanya Ihatra menatap kosong lorong sempit di depannya. Ada beberapa lukisan indah yang dipajang di sepanjang dinding, ditemani oleh lampu tua yang bersinar kekuningan. Namun keadaan itu tidak semenarik keberadaan gadis yang hanya berjarak beberapa langkah darinya.

Ihatra tahu Usha tidak memiliki maksud lain ketika mengatakannya, dan mungkin saja kalimat itu hanyalah ungkapan yang keluar tanpa pikir panjang karena terbawa suasana. Tapi entah bagaimana hatinya malah terpaku. Seakan-akan ada jutaan sentuhan aneh yang mengusik pikirannya. Memaku langkahnya dan mengikat dirinya sehingga tak bisa melakukan apapun selain terdiam membeku.

Untungnya suasana mandek itu tidak bertahan lama.

Usha melangkah maju, melewati Ihatra dan menunjuk sebuah lukisan di ujung lorong. Dari ekspresinya gadis itu tidak mengalami riak apapun, membuktikan kalau Usha memang tidak memiliki maksud nyata ketika mengatakan hal itu. Dan sudah seharusnya Ihatra bertindak serupa.

"Lalu bagaimana dengan lukisan ini? Apa Kakak tahu kisah dibaliknya?" Tanya Usha.

Di hadapkan oleh senyuman manis itu lagi, Ihatra juga berhasil membuang kesunyiannya. Lelaki itu melangkah mendekat namun tetap menjaga jaraknya agar tidak terlalu dekat dengan Usha. Setelah melihat lukisan apa yang Usha tunjuk, Ihatra menjelaskan sebisanya,

"Itu adalah lukisan yang dibuat ketika mereka pertama kali menikah."

"Benarkah?"

"Ya."

Usha menyeringai lalu seakan ingin mengetes pengetahuan Ihatra, gadis itu kembali menunjuk beberapa lukisan secara acak—yang Ihatra turuti tanpa keberatan.

Selaku orang yang pernah datang ke tempat itu sebelumnya Ihatra yang bertugas sebagai pemandu. Menuntun Usha untuk menelusuri setiap sisi bangunan dan turut menjelaskan sebisanya. Tak terasa ketika mereka akhirnya selesai mengagumi seni terakhir, sore hari telah tiba. Langit biru yang tadi menaungi bumi kini secara perlahan meredup, menyisakan warna jingga dengan sedikit merah muda.

Lelah, Usha kemudian menyandarkan tubuhnya di salah satu tiang yang berada di teras luar. Beberapa tetes keringat tampak meluruh di wajahnya, hal yang mengusik pikiran Ihatra. Pada akhirnya Ihatra kemudian mengulurkan beberapa lembar tisu kepada Usha.

Sambil tertawa pelan Usha menerimanya. "Terimakasih, Kak Ihatra."

Ihatra mengangguk kemudian ikut menyandarkan dirinya di samping Usha. Semilir angin menerpa pepohonan di sekitar mereka, menciptakan bunyi gesekan dedaunan yang lembut. Beberapa awan berarak penuh, menciptakan selubung putih keabuan yang berbaur dengan rona jingga sang angkasa.

Mungkin karena gerah, Usha melepas beanie yang ia kenakan kemudian meletakkannya di atas tanaman puring kuning secara asal. Membuat batang muda itu bengkok karena beban yang tiba-tiba dilimpahkan padanya. Membuat beanie di atasnya melorot karena pondasi yang tidak rata. Dari pada membiarkannya terjatuh, Ihatra kemudian mengambil dan memegangnya. Setidaknya beanie itu tidak akan kotor jika Usha berniat memakainya kembali.

"Aku tidak tahu kalau ternyata lukisan di sini begitu banyak," ringis Usha sembari mengelap keringatnya.

"Tentu saja, mereka telah menjalani kehidupan pernikahan selama lebih dari 20 tahun dan dengan kegemarannya untuk melukis setiap kondisi istrinya membuat rumah ini dipenuhi oleh puluhan lukisan."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UNDER THE SAME BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang