Chapter Delapan

416 71 8
                                    

"Lo yakin masih mau lanjut?" Tara bertanya setelah menyerahkan sebotol air mineral untuk Kai - yang di terima wanita itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

Sebagai seorang manager yang sudah bersama Kai semenjak delapan tahun yang lalu, Tara tentu saja bertanggung jawab penuh pada wanita itu. Tugas Tara bukan hanya mengatur jadwal yang Kai miliki,, bukan juga mengatur keuangan, bukan juga hanya mengatur perjanjian kontrak dengan sponsor dan lainnya. Tapi tugas paling beratnya adalah menjaga Kai seperti adiknya sendiri.

"Tas gue mana?" Kai bertanya lemah, dia mengabaikan pertanyaana Tara barusan dan dengan cepat Tara menyerahkan tas itu kepada pemiliknya.

Kai dengan terburu-buru segera mencari botol obat yang selalu dibawanya kemana-mana. Dia mengeluarkan dua kapsul sekaligus dan meneguknya dengan air. Dia mencoba menarik napas dan kembali menghembuskannya secara perlahan-lahan. Mencoba kembali menetralkan detak jantungnya yang berdetak hebat sejak tadi.

"Kai.." Tara yang memperhatikan itu hanya memandangi wanita yang duduk di sampingnya. "Lo nggak apa-apa?" Tanyanya lagi. Entah sudah berapa kali Tara mangatakan hal itu semenjak Kai kembali ke Jakarta.

Kai menggeleng dia tersenyum. "Kayaknya karena gue minum kopi deh tadi." Kai menjawab. Tapi Tara justru tidak mempercayainya.

"Itu bukan obat maag atau asam lambung yang sering lo minum." Kata pria itu, menunjuk botol obat yang ada diatas meja rias di hadapannya. "Kai.. lo kalau ada masalah cerita ke gue. Seberat apapun gue bakalan bantu. Lo percaya sama gue kan?" Tara memegang kedua tangan Kai dengan erat dan pria itu bisa merasakan tangan wanita itu masih gemetar dan sedikit berkeringat dingin.

Kai terdiam. Dia memandangi Tara, mencari tau apakah seharusnya dia mempercayai Tara untuk berbagi cerita tentang apa terjadi padanya?

Gangguan panik yang dia rasakan bukan kali pertama terjadi. Dia sering mengalaminya saat dia masih melarikan diri ke Eropa. Dia menjadi terlalu penakut saat bertemu dengan banyak orang. Dia akan sedikit histeris jika orang yang tidak di kenalnya tiba-tiba menyentuhnya. Dan dia akan bergerak refleks menjauh jika ada yang tiba-tiba memeluknya. Semua terjadi begitu saja tanpa bisa dia kendalikan.

Kai tau baik Tara, Kiara atau Shaka yang pernah memeluknya tiba-tiba akan merasakan gerakan penolakan itu.

"Tar gue.."

"Bang...."

"Pak...."

Kai dan Tara sama-sama menoleh keasal suara karena bunyi dentuman pintu yang di buka terlalu keras serta suara panik yang menyusul setelahnya. Lalu Arsen mucul dari sana bersama Shaka yang sepertinya berusaha untuk menahan pria itu dan juga beberapa orang yang ada di studio yang tiba-tiba ikut bergabung di dalam ruangan talent - yang kembali membuat Kai harus menahan diri agar serangan panik itu tidak terjadi lagi.

Dia mengepal kedua tangannya kuat-kuat dan Tara lagi-lagi memperhatikan itu.

"Kamu pikir apa yang kamu lakukan disini?" Untuk pertama kalinya Kai mendengar Arsen membentaknya. Bahkan semenjak hubungan mereka baik-baik saja, Arsen sama sekali tidak pernah membentak apalagi memarahinya.

Kai mengerutkan keningnya. Wajah pria itu memerah dan dia tahu Arsen sedang emosi sekarang ini. Dari ekor matanya Kai bisa melihat Shaka memegang bahu Arsen dan pria itu menepisnya dengan kasar.

"Bang.. kalau mau berantem mending jangan disini." Shaka bebisik pelan sambil menatap Arsen. "Di lihatin banyak orang." Imbuhnya lagi.

Tapi apa Arsen peduli? Tidak sama sekali. Dia mulai tidak memperdulikan apapun lagi saat ini.

"Saya ingin bicara dengan Kaia berdua disini." Arsen berkata dingin. Dia memasukan kedua tangannya di saku celana dan menatap Kaia yang berdiri di hadapannya dengan tatapan dinginnya. Tara langsung menatap Kaia begitupun Shaka. Mereka tahu Arsen meminta mereka untuk keluar tapi kalau Kaia menahannya, Tara akan tetap berdiam diri di samping wanita itu.

HateLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang