Chapter Enam

379 71 11
                                    

Sudah satu minggu Kai pulang ke Jakarta dan dia akhirnya memberanikan diri bertemu dengan Herry Pramoedya - ayahnya. Pria bertubuh kekar dan tegap di usia 60 tahun itu hanya menatapnya tanpa ekspresi saat Kai melangkahkan kakinya ke ruang kerja pria itu di rumah.

"Pap.." Kai menyapa takut-takut saat tatapan mata mereka bertemu. Dia melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya dan mulai menyadari ketololannya karena tidak meminta Kiara untuk menemaninya.

Hanya ada dia dan ayahnya di ruang kerja yang di dominasi warna coklat kayu itu. Pria yang rambutnya hampir memutih itu duduk di balik meja kerjanya, tidak ada senyum atau sambutan basa basi menyambut kepulangannya.

Ah.. Kai mendesah pelan. sejak kapan dia dan Herry Pramoedya memiliki hubungan yang akur dan penuh kasih layaknya seorang ayah dan anak perempuan? Mereka sudah perang dingin sejak bertahun-tahun yang lalu dan seharusnya dia tidak perlu lagi repot-repot mengunjungi rumah ini kecuali atas ancaman Kiara.

"Kenapa pulang?" Suara dingin dan tegas itu menyapa indera pendengarannya yang membuat langkahnya sempat terhenti ditengah ruangan. "Papa pikir kamu akan memilih melarikan diri selamanya ke Eropa." Sindir pria itu yang hanya melirik sekilas lalu kembali membolak-balik buku jurnal di hadapannya.

Suara televisi yang menyiarkan berita politik yang sedang panas-panasnya di Indonesia membuat ruangan ini sedikit lebih hidup. Setidaknya Kai bisa mendengar suara-suara orang lain yang mengisi kekosongan ruangan ini dari pada mendengar helaan napasnya sendiri.

"Aku hanya mau lihat papa sebentar. Kebetulan lewat jadi mampir sekalian jengukin Sky." Kai memberi jawaban. Dia memang datang untuk menemui ayahnya dan juga keponakan yang sudah satu tahun tidak bertatap muka dengannya.

"Kamu pikir setelah meninggalkan kekacauan yang kamu buat, kamu masih bisa bersikap biasa aja sekarang?" Herry Pramoedya memang paling tidak suka basa basi. Pembawaannya yang tegas, tatapannya yang dingin kadang kala membuat nyali seorang Kaia Pramoedya menciut.

"Aku juga tidak mau seperti ini." Kai setengah membentak. Suaranya bahkan terdengar bergetar dan dia juga tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat.

Ayahnya mendongkak. Menutup buku jurnal di hadapannya lalu menatapnya dengan tatapannya seperti biasa. Dingin dan mengintimidasi. "Jika saja kamu tidak membangkang dan menuruti ikeinginan papa, tidak akan seperti ini." Ayahnya berkilah.

Kai berdecak. Dia membuang muka sesaat karena matanya mulai terasa panas. "Papa masih mau membahasnya? Setelah sekian lama?" Tanya Kai dengan sorot mata penuh kekesalan.

"Sejak awal papa tidak setuju kamu ada di dunia entertain. Tapi kamu keras kepala. Sikapmu benar-benar membuat papa mengingat mamamu. Kalian sama. Keras kepala." Kata ayahnya lagi. Kali ini benar-benar menyudutkannya.

"Apapun masalah yang terjadi antara papa dan mama, jangan mengajakku masuk ke dalamnya. Mentalku sudah cukup rusak." Kai hampir berteriak saking frustasinya. "Aku juga ngak minta di lahirkan didalam keluarga ini." Katanya lagi, kali ini dia menghapus air matanya dengan kasar menggunakan telapak tangannya.

Seharusnya dia tidak datang. Seharusnya dia tetap berdiam diri di apartemennya.

Selalu ada tiga sudut pandang dari setiap cerita seseorang. Sudut pandangmu. Sudut pandang orang lain. Dan sudut pandang dari apa yang terjadi sebenarnya. Sekarang Kai harus menghadapi apapun penilaian ayahnya tentang dia. Sudut pandang ayahnya masih sama, dia pemberontak. Dan itu tidak akan pernah berubah.

Kai menghembuskan napas kesal. Dia hendak meninggalkan ayahnya di ruangan itu tapi perkataan ayahnya barusan menghentikan langkah kakinya yang hendak melangkah keluar ruangan. Tangannya membeku di gagang pintu yang terbuka setengah.

HateLoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang