“Kakak kenapa?” suara seraknya yang khas membuat Bree segera menoleh, mendapati sang Bunda beserta Ayah yang menyusul di belakang.
Bree menggeleng, menenggelamkan kepalanya dalam dekap hangat Bunda. Sementara itu, ketika Bara menepuk pundak Dee, pemuda itu justru terlonjak kaget. Segera berdiri, bahkan tak menyadari ponselnya yang terjatuh hingga menyebabkan retakan panjang.
“Dee minta—”
“Gak perlu. Ayah paham.” Pribadi Bara seketika berubah ketika berhadapan dengan sulungnya. Dingin, irit bicara.
Setelahnya tak ada lagi percakapan. Hingga ketika dokter keluar beserta dengan para perawat yang membawa blankar Lee membuat atensi keempatnya teralihkan.
“Pak Bara, Bu Mareta, mari ikut ke ruangan saya.”
“Abang, titip Kakak sama Mas, ya,” pinta Bunda yang dihadiahi anggukan dari Dee.
Selepas kepergian kedua orang tuanya, Dee kembali memusatkan perhatiannya pada sang adik. “Mau duduk lagi gak?” tanya nya.
Bree hanya menggeleng. “Gue pengen Yi cepet dapet donor jantung.”
Geraknya reflek menepuk bahu Bree, mencoba memberi kekuatan, mengatakan bahwa dirinya juga ada di pihak yang sama.
Namun, dua menit setelahnya, manik legam itu membola. Sial! Ia hampir terlambat les. Dan ketika siluet kedua orang tuanya muncul, Dee segera menghampiri keduanya dengan tergesa.
“Dee pamit ya, Ayah, Bunda. Ada les. Maaf sekarang gak temenin Yi dulu, selesai les aku balik lagi ke sini, janji,” katanya. Nada bicaranya terburu-buru, panik, sekaligus tak fokus.
Mareta menatap sulungnya khawatir. “Abang baik? Tenang dulu, Bang.”
Dee buru-buru mengangguk. “Baik, Bun. Abang berangkat, ya.”
Mau tidak mau Mareta menyetujuinya. Membiarkan si sulung merajut langkah dengan tergesa tanpa kembali menengok ke belakang—bahkan untuk sekedar melihat kembar bungsunya.
“Lo sepanik itu sebenernya apa yang lo kejar sih, Dee?” tanya itu mengudara tanpa berbalas jawab.
.
“Ayah kan udah bilang, jangan capek-capek, Kak. Kalau kaya gini kan semua khawatir,” omel Bara pada si kembar tengah.
“Iyaa maaf ya. Aku gak bermaksud bikin kalian khawatir. Tadi malem kan nugas, terus hapalin materi buat presentasi, jadi begadang. Ngambek deh jantungnya,” sesalnya seraya menunduk. Hal itu membuat Bree mendekat, menonjok pelan bahu saudaranya yang langsung dihadiahi cengiran tak berdosa. “Thanks ya Bree udah gendong gue.”
“Emang harus makasih sih lo, traktir gue sebulan.” tentu saja Bree bercanda. Hanya untuk mencairkan suasana.
Tak lama kemudian pintu kembali dibuka. Menampilkan seorang gadis dengan seragam SMA nya yang langsung menghambur ke pelukan Lee Semesta.
“Kakak kebiasaan deh, aku khawatir tahu!” ocehnya. Bibirnya mengerucut membuat Lee tersenyum karenanya.
“Kok sama Yi lo aku-kamu sih, kok sama gue enggak?” protes Bree tak terima.
“Ya lo nya juga nggak aku-kamu, ngapain gue duluan? Cowok duluan lah!” balas Keeana tak mau kalah.
“Malah ribut. Kia sini sayang, simpen dulu tas nya, gimana sekolah hari ini?” tanya Mareta, tatapnya lembut membuat si bungsu tersenyum dan memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahardika; Dee Sadewa
Teen FictionAda empat pilar kehidupan milik Ayah dan Bunda : 1. Dee Sadewa 2. Lee Semesta 3. Bree Samudera 4. Keeana Sajani Sebagaimana hakikatnya manusia yang terlalu dinamis untuk menjadi sebuah "rumah", Mahardika dan segenap jiwa miliknya perlahan runtuh, ru...