07.00

183 20 5
                                    

Jika waktu adalah kesempatan juga peluang, maka hari ini Dee telah menyia-nyiakan. Saat ini ujian akhir semester tengah berlangsung, namun yang terjadi ia malah membungkuk dengan pening yang menghantam kepala.

Mualnya belum juga reda kendati tubuhnya sudah lemas tak bertenaga.

Dari enam bilik toilet yang tersedia, hanya ada ia di sana. Ia telah melewatkan 25 menit pertamanya untuk mata ujian Bahasa Indonesia.

Tangannya bergerak liar memukul kembali kepala, sakitnya tak seberapa dibanding sakit dari dalam sana. Selain tusukan jarum yang membuatnya kewalahan, ada suara berisik yang memaksanya untuk berhenti berjuang.

“Bodoh! Harusnya lo bisa jaga tubuh lo waktu mau ujian gini. Teledor banget sih Dee!”

“Kalau kaya gini gimana bisa jadi contoh adek-adek lo?”

“Lo sendiri gagal.”

“Ayah pasti marah banget kalau tahu hari pertama ujian ini gue malah sakit.”

“Lo emang selalu mengecewakan Dee, lo gak pernah bisa diandalkan.”

“Ayah pasti malu punya anak bodoh kaya lo.”

“Lo emang gak pantes buat dapet apapun, Dee.”

“Lo menjijikan.”

Bahkan sekali lagi cairan kental amis itu keluar dari lubang hidungnya. Pemuda itu bersandar pada dinding kosong di sebelah kanan. Tak lagi peduli bahwa mungkin seragamnya sudah lusuh juga basah.

“Dee?”

Suara itu bagai secercah cahaya yang melegakan bagi Dee Sadewa ketika ia mulai kepayahan. Akhirnya meskipun ia tidak tahu siapa yang memanggil di luar sana, ia akan diselamatkan.

Sekitarnya mulai kabur dari pandangan. Dee menyempatkan untuk mengelap cairan merah itu asal, lalu membuka pintu.

Ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa di sana, tetapi ketika semuanya menggelap ia merasa tubuhnya ditopang. Juga pekik panik datang samar-samar di telinga.

.

“Kamu bisa kembali ke kelas, bukannya sedang ujian, ya?” kata dokter jaga pada pemuda lain yang masih setia menemani Dee yang masih terbaring di sana.

“Punya saya udah selesai, Bu,” jawabnya tanpa beban.

Tentu saja hal itu membuat dokter jaga tersebut mengernyit heran. “Jago kamu berarti?”

Chandra—pemuda itu tertawa. Ia adalah teman satu kelas sekaligus satu ekstrakurikuler Dee juga sahabat karib Bree Samudera yang pagi tadi baru menitip pesan padanya untuk mengawasi kakak kembarnya tersebut.

“Ya jago materinya udah di luar kepala semua, Bu. Tinggal remedial aja ini,” balasnya membuat dokter itu tertawa.

Hingga kemudian terdengar lenguhan dari sosok yang sejak tadi terbaring tak berdaya. Dokter Farah segera mendekat, “Dee dengar saya?”

Belum mendapat respons berarti, ia membiarkan pemuda itu beradaptasi dengan lingkungannya setelah menutup mata hampir 15 menit lamanya.

Mahardika; Dee SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang