09.00

23 6 0
                                    

Dalam riuhnya suara di kepala, yang terefleksikan hanyalah hening tanpa jeda. Seluruh keluarga Mahardika kini tengah berada di depan IGD menunggu salah satu bagian dari mereka yang lagi-lagi berjuang menghadapi maut di sana.

Ini kali kedua Lee Sadewa tumbang dalam waktu yang berdekatan. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Mereka semua tidak bodoh bahwa sang tersayang kini berada di ambang.

Begitu Dokter Galuh keluar dari IGD dengan wajah yang cukup keruh, mereka juga mengerti, bahwa waktunya tak banyak lagi.

“Gimana keadaan putra kami, Dok?” tanya Bara.

Galuh menghela napas berat. “Lee harus segera mendapatkan donor dalam waktu dekat. Kebocoran jantungnya sudah cukup parah, katupnya tidak bisa menutup dengan sempurna sehingga aliran darah terus menerus berputar di tempat yang sama. Hal itu menyebabkan jantung harus bekerja ekstra. Bertahan dengan jantung rusak selama enam belas tahun bukan sesuatu yang mudah. Saya menyarankan saudara Lee Semesta untuk melakukan perawatan intensif dan sebaiknya fokus terlebih dahulu untuk kesehatannya.”

“Untuk saat ini kondisi Lee sudah cukup stabil, pasien akan segera dipindahkan ke ruang rawat biasa di lantai tiga, saya permisi,” pamitnya yang bahkan tak digubris oleh siapapun di sana.

Dee masih setia menopang tubuh sang Bunda yang begitu lemas setelah mendengar penjelasan Dokter Galuh. Sedangkan di sampingnya ada Bree yang terus menggertakan rahangnya untuk menyalurkan seluruh emosi yang tertanam di dalam dada.

Keeana menangis di pelukan Ayah dan Raja yang diam saja bingung untuk bereaksi seperti apa.

Begitu blankar yang membawa Lee akan dipindahkan menuju ruang rawat, semuanya berjalan mengikuti.

Tolong bertahan sedikit lebih lama, Yi.

Harap yang sama selalu dipanjatkan kelimanya. Namun, takdir selalu memiliki jalan yang tidak terduga, kan?

.

“Abang?”

Panggil Keeana di antara hening yang hanya terisi oleh mereka berdua. Dee, Bree, Raja, dan Keeana memang dipaksa Bunda untuk kembali ke rumah.

Mareta khawatir dengan keempatnya jika memaksakan untuk tidur di rumah sakit—itu sangat tidak nyaman—dan tentu saja besok masih ujian, dapat dipastikan keempatnya enggan untuk ujian susulan maka dari itu ia lebih memaksa keempatnya untuk beristirahat di rumah saja.

Tak ada sahutan. Keeana mengetuk pintu kamar mandi di kamar Dee. Gadis itu memang meminta untuk tidur bersama, kebiasaannya ketika Lee sakit, ia takut tidur sendirian.

“Abang denger Kia, nggak?” tanyanya sekali lagi.

“Bentar,” balas suara dari dalam.

Syukurlah, Keeana takut abangnya kenapa-napa. Ia melihat banyak tisu bernoda darah di sekitar meja belajar Dee Sadewa yang masih disinari lampu belajar. Keeana cukup mengerti kerasnya tuntutan sang ayah kepada sulungnya sehingga ia tidak heran jika Dee akan mengerahkan seluruh kemampuannya.

Begitu Dee keluar, pemuda itu terlonjak kaget karena mendapati adik bungsunya berdiri tepat di depan pintu.

Keeana tertawa kecil. “Abang kok kaget banget sih, kan suara Kia udah ada dari tadi.”

“Ya Abang mana tahu kamu ada di depan pintu, Dek,” balasnya sedikit kesal. Keeana terkikik, ia melihat Dee yang kembali duduk di meja belajar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mahardika; Dee SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang