Aturan hidup sebetulnya sangat sederhana. Beri atau terima.
Untuk mereka yang cukup, memberi adalah sesuatu yang mudah, namun untuk mereka yang kesulitan, memberi adalah salah satu bentuk anugerah.
Lain halnya dengan menerima. Sebagai manusia yang memang diciptakan dengan seluruh akal pikiran dan logika, dengan kecenderungan tinggi untuk menggapai sebuah bahagia, menerima adalah langkah-langkah terseok ketika tubuh tak lagi mampu menampung beban diri. Menerima adalah umpatan kasar yang seringkali diucapkan kala menghadapi—katanya—ketidakadilan.
Karena dunia ini bekerja bukan untuk 1 + 1 = 2, dan manusia dengan seluruh keterbatasan pikirannya tak akan pernah rela dengan hasil-hasil yang didapat sementara itu bukanlah sesuatu yang telah ditebar sebelumnya.
Begitupula Raja yang kini memandang dari balik jendela. Menatap penuh amarah ke arah empat bersaudara di bawah sana.
“Setelah semua yang terjadi, lo masih punya orang-orang yang sayang sama lo,” lirihnya penuh tekanan.
“Sedangkan gue sendirian. Karena dari awal yang gue punya cuma Mama.”
“Gimana lo bisa hidup seakan semua baik-baik aja sementara di sini gue kesakitan?” tanya nya entah pada siapa.
Hati itu lagi-lagi meringis pedih kala ia tertampar fakta bahwa selain tak memiliki siapa-siapa Baraja Januarta hanyalah seonggok sampah. Buku hitam dalam genggaman adalah bukti nyatanya.
Itu tulisan tangan sang ibunda.
Apakah dosa besar yang telah ia lakukan sebelumnya sampai Tuhan memberikan jalan hidup yang seperti ini?
Hari itu semuanya hancur. Mimpiku. Ambisiku. Seluruh mata di rumah tak lagi hangat seperti dulu.
Dan papa mengusirku tepat setelahnya.
Hidupku kini tak lagi sama dan aku harus bisa menerimanya karena anak ini selamanya tak akan pernah bersalah.
Sayangnya mama, kuat, ya. Mama cuma punya kamu sekarang.
Jakarta, 29 Januari 2005
“Aku juga cuma punya Mama, tapi sekarang Mama pergi tanpa pulang. Aku sendirian, Ma.”
Tangisnya pecah, tanpa isakan, dan itulah hal yang paling menyakitkan.
.
“Berarti kalau diketahuinya gram pelarut sama terlarut itu dicari molalitas?” tanya Bree yang saat ini tengah berada di kamar Dee. Kembar tiga tengah mengerjakan tugas bersama karena Bree kesulitan untuk mengisi pertanyaan dari pelajaran lintas minatnya.
Lee hanya mengangguk. “Dee menurut lo teori Darwin soal evolusi itu gimana?” tanyanya pada yang tertua.
Dee termenung sebentar. “Kalau soal seleksi alam gue setuju sih, tapi sisanya gak terlalu.”
“Kalau seleksi alam tuh maksudnya gimana? Kaya seleksi Indonesian Idol gitu?” ini pertanyaan kedua yang dilontarkan Bree.
Sebenarnya wajar untuk tidak mengetahuinya apalagi Bree bukanlah seseorang dengan latar belakang Sains. Namun, caranya bertanya selalu sukses membuat emosi membakar Dee sampai ke ubun-ubun.
“Pikir ajalah monyet, lo pikir ada Mas Anang buat ngejuriin lo gitu? Supaya dapet golden tiket kalau lolos seleksi alam?”
Bree berdecak. “Ya gue kan anak Bahasa, mana tahu.”
“Gue gak pernah denger kalau anak Bahasa gak boleh tahu soal Sains,” balas Lee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mahardika; Dee Sadewa
Teen FictionAda empat pilar kehidupan milik Ayah dan Bunda : 1. Dee Sadewa 2. Lee Semesta 3. Bree Samudera 4. Keeana Sajani Sebagaimana hakikatnya manusia yang terlalu dinamis untuk menjadi sebuah "rumah", Mahardika dan segenap jiwa miliknya perlahan runtuh, ru...