Hari itu, suasana kampus terasa lebih tenang dari biasanya. Banyak mahasiswa sudah pulang atau sibuk di dalam kelas, membuat taman belakang menjadi tempat sempurna untuk bersantai. Lulu duduk di bangku kayu, menikmati ketenangan yang jarang ia rasakan di tengah kesibukan sehari-harinya. Sambil memejamkan mata sejenak, ia menikmati hembusan angin yang sejuk. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh suara yang tak asing lagi di telinganya.
"Lulu!" panggil Revano dengan nada ceria sambil menghampirinya. Di tangannya, ia membawa dua cup es krim.
Lulu menoleh dan tersenyum lebar melihat Revano. "Hai, Vano! Kok tiba-tiba bawa es krim? Lagi ada yang spesial, ya?" godanya.
"Nggak juga, cuma kebetulan abang- abang eskrim lewat dan langsung ingat lu. Jadi, ya, sekalian aja beli dua," jawab Revano, menyodorkan salah satu cup es krim itu ke Lulu. "Ini rasa favorit lu kan, cokelat stroberi?"
Lulu mengambil es krim itu dengan senang hati. "Wah, lu masih ingat aja! Makasih, ya," katanya sambil membuka tutupnya dan mencicipi es krim tersebut. Mereka berdua duduk berdampingan di bangku kayu itu, menghadap danau kecil yang tenang. Suasana sore yang damai ditemani angin lembut menciptakan suasana nyaman di antara mereka.
"Gimana, Lu? Udah mulai terbiasa dengan kehidupan kampus?" tanya Revano sambil memandang Lulu yang sedang menikmati es krimnya.
Lulu tersenyum sambil mengangguk. "Lumayan, sih. Sekarang lebih banyak waktu buat fokus ke kuliah dan hal-hal lain. Tapi jujur aja, kadang gue masih kangen sama suasana teater, tampil di depan penonton, dan semua kenangan itu. Tapi gue juga lega karena sekarang bisa lebih santai."
"Hmm, mungkin lu butuh sesekali nostalgia. Gimana kalau kita nonton konser Adel bareng? Lu pasti seneng bisa lihat adik kesayangan tampil di panggung lagi," goda Revano sambil melirik ke arah Lulu.
Lulu tertawa kecil. "Iya, boleh juga. Kayaknya seru kalau nonton bareng lu. Tapi lu yang traktir, ya!"
"Deal," jawab Revano cepat. "Kapan aja lu mau, gue siap!"
Obrolan mereka mengalir begitu saja, sesekali diselingi tawa dan candaan ringan. Es krim yang tadi dingin kini mulai meleleh, tetapi mereka terlalu asyik berbicara untuk memedulikannya. Saat matahari mulai tenggelam, langit berubah menjadi warna jingga kemerahan yang indah. Lulu menatap pemandangan itu dengan kagum, sementara Revano diam-diam memperhatikan Lulu.
Di saat Lulu menikmati keindahan senja, Revano memberanikan diri untuk berbicara lebih dalam. "Lu, gue seneng banget bisa ngabisin waktu kayak gini sama lu," ucapnya dengan suara yang lebih lembut.
Lulu menoleh, dan tatapan mereka bertemu. Ada kehangatan yang mengalir di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan biasa. Lulu tersenyum, dan tanpa sadar perasaannya mulai mengalir melalui tatapannya. "Gue juga, Vano. Lu selalu bikin hari gue lebih cerah dan menarik," ujarnya pelan namun penuh makna.
Revano membalas senyuman Lulu, merasa ada sesuatu yang berubah di antara mereka, meski tidak ada yang diucapkan. Tanpa banyak kata, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Lulu yang sedang memegang cup es krim. Sentuhan itu sederhana, tetapi memberikan rasa nyaman yang sulit diungkapkan.
Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, menikmati kehadiran satu sama lain tanpa perlu berbicara. Kadang-kadang, kata-kata memang tidak dibutuhkan untuk mengekspresikan apa yang dirasakan. Bagi Lulu, momen ini terasa sangat berarti—sederhana, tapi menghangatkan hati. Dan bagi Revano, bisa melihat Lulu tersenyum dengan tulus adalah kebahagiaan tersendiri.
Lulu memandang ke arah danau, lalu menoleh kembali ke arah Revano. "Lu emang tau cara membuat hal-hal kecil terasa istimewa, ya?" ucapnya dengan nada bercanda.
Revano tertawa pelan. "Bukan soal tahu caranya, tapi soal merasa nyaman aja. Kalau sama lu, semuanya jadi terasa lebih mudah."
Lulu merasakan pipinya memerah sedikit mendengar kata-kata itu, tetapi ia hanya menanggapinya dengan senyum kecil. "Gue senang dengarnya," balasnya pelan, kembali memandang ke arah langit yang mulai gelap.
Waktu terus berjalan, tetapi mereka berdua tetap tidak beranjak dari tempat itu. Seolah-olah, ada sesuatu yang menahan mereka untuk tetap berada di situ, menikmati setiap detik kebersamaan yang terasa begitu berharga. Lulu tidak tahu pasti bagaimana perasaannya terhadap Revano, tapi satu hal yang ia sadari—ia tidak ingin momen-momen seperti ini berakhir.
Saat malam mulai merayap, Revano dan Lulu bangkit dari bangku mereka. Meski sudah saatnya pulang, kehangatan dari sore itu masih terasa menyelimuti hati keduanya. Tanpa perlu ucapan selamat tinggal yang panjang, mereka melangkah keluar dari taman dengan perasaan yang ringan.
Kedekatan mereka terus berkembang. Hampir setiap minggu, Lulu dan Revano menghabiskan waktu bersama di taman yang sama. Mereka berbagi cerita tentang kuliah, hal-hal sepele, hingga masa-masa yang sudah berlalu. Lulu mulai menyadari bahwa semakin sering mereka bersama, semakin ia merasa nyaman dan tak tergantikan ketika berada di sisi Revano.
Suatu sore, saat mereka duduk di tempat yang sama seperti biasanya, Lulu menatap Revano dengan tatapan serius. "Lu nggak pernah bosen ngajak gue duduk di sini tiap minggu?" tanyanya, setengah bercanda setengah penasaran.
Revano mengangkat bahu, tersenyum. "Kalau lu nggak bosen, kenapa gue harus bosen? Malah gue seneng, karena di sini kita bisa bebas ngobrol tentang apa aja, jauh dari keramaian."
Lulu tersenyum kecil mendengar jawaban Revano yang spontan dan jujur. "Iya sih, gue juga suka suasananya. Rasanya damai banget."
"Dan kalau ada gue di sini, suasananya jadi makin sempurna," tambah Revano tanpa berpikir dua kali. Ia menatap Lulu dengan pandangan yang berbeda, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar pujian.
Lulu terdiam sejenak, merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Vano..."
"Hmm?" Revano menoleh, menunggu kelanjutan kata-kata Lulu.
"Nggak, nggak apa-apa," Lulu menggeleng dan tersenyum, memilih untuk tidak melanjutkan. Ada banyak hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi untuk saat ini, ia memilih menikmati momen-momen yang indah itu bersama Revano tanpa perlu terburu-buru mendefinisikan perasaannya.
Di hari-hari yang mereka habiskan bersama, Lulu menyadari bahwa ada keistimewaan dalam kebersamaan mereka. Tanpa ada janji yang diucapkan, tanpa ada keharusan untuk menyatakan perasaan, mereka telah menemukan kenyamanan di satu sama lain. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk saat ini.