Langit yang cerah kini telah berubah menjadi warna hitam gelap.
Bau petrikor tercium seperti aroma terapi yang sesuai dengan suasana malam ini.
Sahara berjalan pelan dengan wajah yang tertunduk lesu. Ia tak menghiraukan suara deringan ponsel yang terus-menerus berbunyi dalam sakunya. Pasti itu dari Nara, karena beberapa menit yang lalu ia sudah menolak panggilan dari sahabatnya itu.
Dengan tangan mengeratkan jaketnya, Sahara terus melangkah maju tanpa menoleh ke belakang.
Pun tanpa ia sadari tangannya semakin mengepal erat di masing-masing tubuhnya, seolah tubuhnya kembali tak sinkron lagi dengan otaknya.Sahara kemudian memasuki eskalator dan menekan tombol lantai menuju ke ruang inap Satra berada. Entah sudah berapa lama ia pergi setelah perdebatan dengan ayah di ujung lorong tadi.
Kembali mengingat hal itu, Sahara merasa marah dan kecewa lagi.
Tatapannya yang semula sendu kini berubah menjadi tajam, memandang pantulannya yang kabur di dinding dalam eskalator itu. Untungnya saja ia sendiri yang menaiki eskalator itu, maka orang lain tak akan memandangi dengan tatapan aneh.
Lantas suara dentingan eskalator yang terbuka menyandarkannya.
Dengan gerakan cepat, Sahara pun langsung keluar dari eskalator dan menuju ke ruang inap Satra berada.
Namun sebelum Sahara akan menyentuh gagang pintu, ia menghentikan langkahnya.
Suara Septian dan Satra yang entah kenapa terdengar seperti sedang berdebat itu berhasil membuat berhenti.
Samar-samar Sahara mendengar Septian mengatakan, "Menurut lo, gue percaya?"
"Itu kebenarannya."
Ketika mendengar balasan Satra, ia semakin bertambah bingung.
Mereka kenapa?, pikirnya bingung.
Saat akan ingin mendengar lebih jelas lagi, pintu kamar tersebut tiba-tiba saja dibuka dari dalam.
Sahara tersentak kaget, sama halnya dengan Samudra yang membuka pintu tersebut pun ikut terkejut."Lo— Lo nguping ya?" Ucap Samudra dengan nada mengusili dan dengan mata memicing curiga.
Sahara yang masih belum tersadar pun hanya menatap dengan bodoh ke arah Samudra. Kemudian ia pun memutar bola matanya dan menerobos masuk ke dalam, tak ingin diwawancarai aneh-aneh oleh kakaknya itu.
Tepat setelah mendudukkan dirinya di sofa, Sahara menoleh ke samping. Di sana, Septian duduk dengan wajah yang terlihat datar.
Sebenarnya Sahara penasaran, namun ia tak ambil pusing dengan percakapan antara kedua kakaknya tersebut. Apalagi melihat wajah lesu Samudra tadi, sepertinya kedua yang tertua tak ingin mengatakannya pada Samudra.
Ia pun memilih untuk memejamkan matanya yang terasa berat, mungkin akibat menangis tadi.
"Dari mana aja lo?" Mendengar pertanyaan Satra, Sahara pun terpaksa membuka matanya.
Ia memandangi Satra terlebih dulu sebelum berkata, "Dari taman."
Sedangkan Satra yang mendengar itupun mengangkat alisnya, sebenarnya Satra terlihat ingin menanyakan tentang alasan Sahara baru datang. Dan ia tahu sebenarnya Sahara berbohong, apalagi mata adiknya itu terlihat sedikit bengkak.
Lainnya halnya dengan Satra, Septian malah terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan tatapannya masih setia datar dan dingin.
Tak berselang lama, suara dengkuran halus keluar dari dalam mulut Sahara yang tertidur dengan posisi duduk. Di tambah lagi dengan tudung yang menutupi bagian kepalanya, Sahara terlihat sangat kelelahan dan wajahnya pun sedikit pucat daripada biasanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
NEED - End (PROSES REVISI)
ChickLitPROSES REVISI! ROMBAK ALUR PASTI ADA! BACA ULANG DAN VOTE UNTUK MENGHARGAI USAHA PENULIS. "Bunda... apa Hara harus sakit dulu supaya bisa diperhatikan sama kalian kayak gini?" Sahara tumbuh di tengah keluarga yang utuh di mata orang lain, tapi rapuh...