Bab 17. What's going on?

1 0 0
                                    

Boleh banget vote dan komen.

Biar authornya semangat nulisnya.
Happy reading! 💕

.
.
.

"Kok, kartu gue bisa di lo?" Tari menarik lengan baju Cakra yang berjalan santai mendahuluinya menuju elevator.

Cara berbalik, menatap perempuan yang lebih pendek darinya itu. "Minimal bilang makasih dulu, kan."

Tari menatap sengit, "Gue nggak mau bilang terima kasih karena gue nggak tau lo dapat kartu itu dari mana. Lo ambil dari mana?" tuntutnya meminta penjelasan. Bukannya menawab, Cakra justru masuk ke elevator yang terbuka. tari tentu saja buru-buru mengekor.

"Lo hobi banget seenaknya nuduh orang sembarangan. Berapa kali lo nuduh gue yang nggak-nggak tapi salah?"

Menusuk dan tersindir tentu saja, Tari malu mengingat tuduhan terakhirnya salah besar tentang Bu Amandalia sebelumnya. Ia bahkan belum mengucapkan maafnya kemarin saat di My I karena bertemu Danu. Apa sekarang saatnya ia minta maaf lebih dulu?

Tari mengalihkan pandang, bingung bagaimana memulai bicara dan minta maaf pada laki-laki di sebelahnya ini. Mulutnya terbuka namun kembali menutup, sibuk menunggu rangkaian kata dalam otaknya. Di sebelahnya, Cakra yang diam-diam melirik, tanpa sadar mengulum senyumnya melihat Tari terdiam tak bisa membalas perkataannya.

"Em, soal yang di Rumah sakit waktu itu, gue minta maaf," ucap Tari pada akhirnya dengan cepat karena menahan malu dan gugup.

"Apa? Lo barusan ngomong apa?" Cakra menoleh lalu melepaskan satu earphone -nya. melihat itu tentu saja wajah Tari semakin merah padam malu karena Cakra tak mendengar ucapannya. Sejak kapan dia pakai earphone?

"Gue minta maaf atas apa yang udah gue ucapin ke lo saat di Rumah sakit. Maaf," ucap Tari mengulang dengan lebih pelan, dengan tatapan menunduk tak berani menatap langsung pada Cakra.

"Itu aja? Lo nggak merasa bersalah sama sikap lo sebelumnya?" Cakra menyandarkan tubuhnya ke dinding elevator  dengan kedua tangan menyilang di depan dada. "Perlu gue ingatkan kalo lo udah banyak menuduh gue tanpa dasar?"

"Gue nggak..."

"Satu, lo marah dan ngamuk ke gue karena kepentok gitar, padahal bukan salah gue. Dua, lo ngamuk ke gue lagi saat jatuh di depan pintu My I waktu nggak sengaja nabrak karena buru-buru ke Rumah sakit. Tiga, yang baru lo akui, lo nuduh gue nggak jelas soal istri dan perselingkuhan yang fatal. Empat, sekarang lo nuduh gue ambil kartu pegawai punya lo. See?"

Cakra melambaikan keempat jarinya di depan wajah Tari yang salah tingkah karena malu.

"O-oke! Gue minta maaf untuk semuanya. Tapi, yang terakhir kan buktinya emang kartu gue ada di lo, dan gue yakin kalau kartu itu selalu ada di tas gue, kok." Tari tak mau kalah, karena memang ia yakin kartunya itu selalu ada di dalam tasnya.

Pintu elevator terbuka, Cakra menatap Tari dengan tatapan datar, namun senyum kecil di sudut bibirnya benar-benar terlihat menyebalkan. "Gue nggak perlu mengambil kartu punya lo, karena gue punya sendiri," ucapnya dengan satu tangannya menunjukkan kartu pass internal JW Company.

"Kerja yang bener, gue pikirin dulu apa gue harus menerima permintaan maaf dari lo," ucapnya sebelum melangkah lebih dulu meninggalkan Tari terdiam  dan tak bisa berkata-kata untuk membalasnya.

Senyum tipis muncul di sudut bibir Cakra, tangan kirinya yang masih memegang kartu milik Tari kemudian ia masukkan dalam saku celananya. Ia berjalan santai menuju ruang direktur yang ada di paling ujung.

***

"Oh! Udah ketemu kartunya? Gue baru aja mau nyusulin lo setelah ngasih ini ke Bu Sarah," ucap Nadia begitu Tari muncul lalu duduk di kubikelnya.

"Nggak ketemu, kartunya nggak ada di tas gue, tapi dibawa sama orang."

"Hah? Siapa? Kok bisa?"

Tari mengangkat kedua bahunya, ia juga masih merasa heran dan belu mendapat penjelasan dari Cakra. "Lo inget adik Pak Angga yang gue ceritain itu?" wajahnya kini menatap Nadia dengan putus asa, berharap Nadia tahu jawaban kebingungannya.

"Iya, kenapa dia? Tunggu, jangan bilang kalau kartu lo dibawa sama dia?" Tari mengangguk sebagai jawaban. "Kok bisa sih, Tar? Lo ngapain aja sama dia?"

Tari mendelik dengan mulut menganga tak percaya pada perkataan Nadia yang seolah menuduhnya macam-macam.

"Gue juga nggak tau, Nad. Gue ketemu dia cuma selewat aja dan nggak pernah lebih dari sepuluh menit."

Nadia ikut mengerutkan keningnys bingung. "Lo terakhir ketemu dia pas kapan?"

"Kemarin waktu ketemu Danu itu, dia yang nolongin."

***

S

ementara itu di ruangan direktur, kedatangan Cakra tentu mengejutkan Angga.

"Ada angin apa, kamu tiba-tiba datang?" tanya Angga begitu Cakra duduk dihadapannya.

"Nggak ada, sih. Pengen berkunjung aja. Lo sendiri yang bilang kalo gue nggak pernah bantuin lo. So, gue ke sini."

Kedua alis Angga berkerut heran. Ini lebih aneh lagi karena selama ini ia selalu meminta Cakra membantunya untuk mengelola pekerjaan kantor, namun ada saja cara adiknya itu untuk menolak. Lalu sekarang Cakra sendiri yang menolak.

"Jadi, kamu mau belajar dan bantu aku?"

Cakra menggeleng pelan. "Bukan. Gue cuma mau main aja, sekalian liat keadaan lo."

Angga semakin heran tentu saja. Karena Cakra itu keras kepala, apa yang membuat seorang Cakra mau menginjakkan kakinya di kantor.

"Mas."

"Apa?"

"Nggak jadi, deh."

Angga menghela napasnya, melepas kacamatanya lalu memijat keningnya. "Apapun yang ingin kamu lakukan di sini, aku nggak melarang tapi jangan sampai mengganggu."

"Iya iya, gue tahu. Bawel." Cakra kemudian bangkit dari duduknya. "Mas, ruang marketing di mana?"

"Sebelah kanan lorong dekat pantry. Ngapain tanya?"

Tersenyum miring, Cakra mengambil kartu milik Tari yang tersimpan di sana lalu menunjukkannya ke sang kakak.

"Mau balikin ini."

Angga cukup terkejut menyadari kartu itu milik Tari. "Kok ada di kamu, sinj kasih aja ke aku. Nanti kubalikin." Tangan kanan Angga terulur meminta kartu itu, namun cakra menggeleng.

"Nggak usah, gue balikin sendiri. Kalo gitu gue pergi ya," pamit Cakra dengan santainya tersenyum lalu melambai pada sang kakak. Melangkah ringan menuju ruang marketing.

Angga sungguh heran. Sejak pertemuan mereka bertiga di Rumah sakit tempo dulu, ia tak pernah menanyakan apa hubungan adiknya itu dengan Tari, atau apa yang membuat keduanya saling kenal. Ia yakin Cakra tak mengenal Tari sebelumnya karena ia tau adiknya itu tidak punya banyak teman perempuan.

Tiba-tiba kenal Tari dan sekarang ia ke sini untuk mengembalikan kartu pegawai milik Tari?

Apa sebenarnya hubungan adiknya dengan Tari, yang ia tidak tahu?

Apa diam-diam terjadi sesuatu dan ia tak mengetahuinya? Tapi, itu tidak mungkin. Ia selalu tahu apa yang Cakra lakukan selama ini, bagaimana mungkin kali ini ia sama sekali tak tahu?

.
.
.
Bersambung.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 15 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Melody of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang