Sebuah Prolog

2 0 0
                                    


.・✫・゜・。.

Malam itu, langit menampilkan wajah birunya yang pekat, bertabur bintang, seakan menari bersama bulan yang menggantung megah. Dua insan berdiri dalam diam, terbungkus oleh udara dingin yang lembut, saling menggenggam jemari dengan erat. Jari-jari mereka bertaut seakan tak ingin melepaskan, seperti takut pada angin malam yang bisa saja menyapu pergi cinta yang mereka dekap erat.

Namun, malam itu, angin berbaik hati. Ia membiarkan kedua jiwa itu menyatu dalam kehangatan, memberi ruang pada mereka untuk berbagi rasa dan rahasia, meski sunyi masih menyelinap di antara hembusan napas mereka. Mata mereka bertemu di bawah sinar bulan, seolah saling mencari makna dalam sorot satu sama lain. Namun ada kontras yang jelas—tatapan sang wanita meredup, hampir kehilangan binarnya. Sebaliknya, cahaya dari mata sang pria terpancar kuat, terang, seolah hendak menyinari setiap sudut hati kekasihnya yang gelap dan asing. Senyum kecil terukir di wajahnya—bukan sekadar lengkungan bibir, melainkan harapan dalam bentuk paling sederhana. Ia tahu, gadis di hadapannya tengah bertarung dengan sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang tak pernah ia ungkapkan.

“An,” bisiknya lembut, “jika manusia menyimpan semua ketakutannya dalam diam, jika ia memendam kesedihannya terlalu dalam, maka itu akan membunuhnya perlahan. Jangan pernah takut untuk bercerita. Apa pun yang kamu rasakan—entah itu sesuatu yang kecil, besar, atau hanya kekhawatiran sepele—aku akan mendengarkannya. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Setiap momen, setiap tragedi. Beri aku kesempatan itu, An.” Suaranya tenang, tetapi di dalamnya tersimpan janji: janji untuk menjadi tempat pulang, tempat di mana An bisa menemukan dirinya tanpa rasa takut.

Namun bagi An, semua itu terasa seperti mimpi—sesuatu yang terlalu baik untuk menjadi nyata. Kehangatan yang ia rasakan dari sosok pria di hadapannya membuatnya merasa seakan didekap untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Cinta itu membuatnya sadar bahwa, barangkali, inilah alasan pertama yang ia miliki untuk tetap bertahan. Namun meski demikian, bayang-bayang gelap di kepalanya tak sepenuhnya pergi. Ia masih merasa asing dengan warna-warna cerah yang tiba-tiba menghiasi hidupnya, seolah ia tak yakin pantas menerimanya. Keraguan menyelinap dalam pikirannya, menghantui setiap sudut hatinya.

“Apakah ini yang mereka sebut rumah?” tanyanya dalam hati. “Apakah ini akhirnya tempatku pulang? Apakah aku pantas menerima cinta sebesar ini, seluas dunia yang ditawarkan kepadaku?”
Pertanyaan demi pertanyaan berputar tanpa henti di benaknya, menyesakkan, mengurungnya dalam lingkaran tak berujung. Setiap hembusan angin malam seolah mengingatkannya pada betapa rapuhnya kebahagiaan yang baru saja ia temukan—seperti kilauan bintang di angkasa yang sewaktu-waktu bisa redup, atau bulan yang perlahan-lahan akan tenggelam dalam cahaya fajar.

Malam itu, di bawah langit yang gelap dan dalam, An memeluk keraguannya seperti seorang sahabat lama—sekaligus membiarkan cintanya tumbuh perlahan, walau tertatih.

Menabur BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang