Bab 1: Hangat yang Rapuh

1 0 0
                                    

Jalan raya tampak sesak, dipenuhi dengan udara kotor yang menyusup tanpa permisi ke dalam paru-paru. Manusia berlalu-lalang, riuh dalam rutinitas yang seolah tanpa jeda. Matahari di ufuk barat telah memudar ke arah kekuningan, pertanda malam segera merebut tahtanya. Di antara hiruk-pikuk itu, bumi terasa semakin sesak, seperti tidak lagi mampu menampung berat langkah-langkah manusia yang terburu-buru menuju rumah. Rumah—sebuah tempat yang meski sederhana atau megah, menjadi pelabuhan akhir dari kepenatan hari yang panjang.

Seorang gadis remaja masih bertahan di halte bus, bersandar lelah pada bangku kayu yang mulai berkarat. Namanya Annari Laluna, atau An—begitulah ia lebih sering dipanggil. Ia memiliki paras yang digambarkan oleh banyak orang sebagai menawan: kulit kuning langsat yang bersinar lembut di bawah cahaya petang, bola mata kecokelatan yang dalam dan penuh cerita, serta rambut bergelombang yang tergerai hingga bahunya. An dikenal sebagai gadis yang manis—senyum selalu menghiasi wajahnya, seolah dunia tak mampu menghapus pesonanya.

Namun sore ini, senyuman itu menghilang. Air wajahnya tampak muram, seperti langit yang menggantung beban mendung tanpa hujan. Cahaya dalam matanya memudar; pundaknya yang kecil terkulai seolah menanggung sesuatu yang terlalu berat. Siapa pun yang mengenal An pasti tahu, ini bukanlah hari yang biasa. An duduk di sana, diam, seperti mengumpulkan sisa-sisa energi hanya untuk menunggu bus yang akan membawanya pulang. Namun tidak ada harapan dalam sorot matanya, seolah bahkan rumah pun tidak mampu memberi jaminan ketenangan.

Akhirnya, bus yang ditunggu pun datang, menggeram pelan sebelum berhenti di depannya. An mendongak, matanya menelusuri wajah-wajah di sekitarnya dengan pandangan kosong. Ia menarik napas panjang, tapi udara yang masuk tak mampu meredakan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. Langkah kakinya perlahan menaiki anak tangga bus, sementara perasaan asing yang tak dikenal menyelubungi dirinya. Ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, berada di tengah orang banyak bukan masalah baginya, tapi hari ini… An merasa terasing. Tatapan orang-orang di dalam bus seperti menusuk kulitnya, meski tak seorang pun bicara. Ia merasa seolah setiap pikiran di kepala mereka sedang menghakiminya, menilainya tanpa suara. Ini aneh, pikirnya—mengapa hari ini begitu sulit? An bukan orang yang gemar bicara atau mencari perhatian, tapi keramaian biasanya tidak membuatnya merasa sekecil ini. Namun kini, Ada ketakutan yang merayap di dadanya, menghimpit setiap ruang napas yang ia coba hirup.

Ia menarik napas dalam, berusaha meredam keresahan yang tak tertahankan itu. Dengan langkah cepat, An berjalan ke bagian belakang bus dan menemukan kursi kosong. Ia segera duduk, merogoh ranselnya dengan tergesa-gesa, seolah mencari pelarian dari keramaian yang bising—bukan hanya di sekitarnya, tapi juga di dalam kepalanya. Ketika tangannya akhirnya menemukan sepasang earphone, ia segera menyumpalkan keduanya ke telinganya, berharap kebisingan itu sirna. Namun ia tahu, suara di dalam kepalanya tak akan benar-benar berhenti.

Perjalanan terasa panjang dan berat, tapi akhirnya bus itu sampai pada tujuan. An turun, berdiri di depan rumahnya yang sederhana. Untuk sesaat, ia memandang pintu kayu di depannya, lalu menarik napas pelan. Saat ia membuka pintu dan melangkah masuk, wajah muram yang tadi lekat di wajahnya lenyap begitu saja—berganti dengan senyum manis yang telah menjadi ciri khas seorang Annari Laluna. Senyum itu tampak alami, seolah datang dari ketulusan. Namun, bagi An, senyum itu tak lebih dari sebuah topeng yang telah terbiasa ia kenakan.

Dengan langkah ringan, An memasuki rumahnya, menyapa udara yang dingin dan hening. Senyuman itu masih bertahan di wajahnya—senyum manis yang selalu ia berikan pada dunia, meski hatinya tahu betul bahwa ia tengah berperang sendirian.

“An pulang!” teriak An begitu pintu rumah terbuka. Suaranya melengking, memenuhi setiap sudut rumah dengan riuh yang hanya bisa dibawa oleh seorang Annari Laluna. Aroma dapur menyambutnya, menggiring langkah kecilnya lebih dalam ke rumah. Di sudut dapur, sang ibu yang tengah berkutat dengan wajan dan panci sejenak menghentikan kegiatannya. Sebuah senyum lebar mengembang di wajahnya. Rumah yang tadi sunyi seketika kembali bernyawa. Seolah hanya kehadiran An yang mampu mengusir kesepian dari setiap sudut ruangan. Meski terkadang ia merasa anak bungsunya ini terlalu cerewet, dan celotehnya membuat kepala terasa penuh, bagi ibu, rumah tanpa An seperti taman tanpa bunga—sepi dan hampa.

Menabur BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang