SMK Negeri Mitra Alam, sekolah yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar di setiap sudutnya. Bunga ayu nan warna-warni pun bermekaran di seluruh bagian sekolah. Hal ini benar-benar membuat hawa sejuk di sekolah. Walaupun panas terik matahari menyinari, setidaknya tetap ada angin sepoi-sepoi yang menerbangkan helaian rambut siswa siswi. Dan cukup menyegarkan setelah mata pelajaran yang melelahkan, akuntansi.
Jurusan yang diambil baik-baik oleh Kiara. Dikarenakan minatnya terhadap keuangan. Akuntansi akan meningkatkan kemampuan analitis dan detail, skill yang akan berguna di kehidupan sehari-hari maupun masa depan Kiara nantinya.
Di sini juga ia menemukan banyak manusia-manusia yang baik. Salah satunya adalah Anindita, teman sekelasnya yang tadi pagi menghampiri Kiara.
"Kiara, kasih tutorial biar pinter dong!" seru Anin.
Kiara menyelesaikan kunyahannya dahulu dengan tenang.
"Kamu belajar aja yang rajin," balasnya dengan senyuman, matanya menyipit saat ia tersenyum. Bak hilang tak tampak.
Anin berdecak sebal, tatapan polos yang menunjukan rasa frustrasinya, "kalau itu aku lakuin setiap hari. Tapi, belum bisa seperti kamu."
Kiara yang sedang mengunyah nasi kuningnya pun reflek tersedak. Yang mana membuat Anin panik tak karuan. Matanya terbelalak karena dirinya merasa bersalah.
"Eh, ini minum dulu!" perintah Anin dengan menyodorkan air mineral kepadanya.
Setelah Kiara selesai minum dan menyadari bahwa Anin panik banget, ia mulai tergelak. "Santai, Anin. Aku tidak apa-apa kok," kata Kiara sambil tertawa.
"Ih, kamu bener-bener bikin aku panik." Anindita akhirnya bisa menghela nafas lega.
"Kamu pengen seperti aku?" tanyanya dengan nada yang heran.
"Loh iya? Enak tau jadi anak pinter seperti kamu, nilainya memuaskan semua." ujar Anindita. Toh siapa yang tidak muncul rasa iri saat melihat Kiara? Tapi, iri dalam bersaing yang sehat ya bukan iri dengki seperti itu.
"Kadang aku bakal disindir-sindir Ibu, tuh kalau nilainya jelek. Terus Ayah bakal nenangin Ibu deh," sambung Anindita.
Kiara mendengarnya dengan baik, mengangguk setiap kali Anindita bercerita, dan tidak pernah memotong pembicaraannya. Sehingga, Anindita betah ada di dekatnya.
"Seperti waktu terima rapot kemarin, Ibu sama Ayah jadi ngambek-ngambekan. Lucu sekali, akhirnya kita makan es krim."
"Kenapa bisa es krim?" respon Kiara.
"Karena Ayah tau Ibu bisa dilelehin pakai es krim," ujarnya kembali tertawa kecil.
Kiara melirik gadis itu dengan pandangan lembut, "Keluarga kamu, itu nilainya lebih lebih lebih berharga daripada nilai sekolah."
Mendengar itu, Anindita baru menyadarinya. Yang diucapkan Kiara itu benar juga. Ia mengangguk pelan, "maaf ya, aku lupa."
Gadis itu menggeleng perlahan tanda tidak apa-apa. Kemudian segera menyudahi makanannya. Tanpa sengaja mata Kiara mengarah pada seorang gadis yang terdiam di pojokan kelas.
"Eh, itu siapa?" tanya Kiara.
Anin mengangkat alisnya kemudian, menoleh ke gadis itu.
"Itu Alya. Dia selalu diam di sana, kamu baru sadar?" ucap Anin sambil sedikit berbisik-bisik.
Kiara memutar bola matanya, kenapa juga harus bisik, sih? Tidak ada yang harus disembunyikan, kok.
Dengan tenang, Kiara berdiri dan menghampiri anak itu. Anin yang baru saja memasukkan donat ke mulutnya hanya bisa memandang, ia hanya ingin makan dengan baik dahulu.
Kebetulan suasana kelas sedang sepi, bel sudah berbunyi sedari tadi. Jadi, anak-anak menghambur keluar untuk ke kantin, toilet, atau sekedar jalan-jalan di sudut sekolah. Untungnya, jam istirahat di sini lumayan lama. Anak-anak bisa senang menikmati waktu istirahat.
"Hai, Alya!" sapa Kiara sembari melambaikan tangannya.
Gadis yang dipanggil pun meresponnya dengan senyum yang sedikit gugup. Bekal berisi apel itu ia letakkan. Matanya tidak bisa menatap balik Kiara. Sebut saja dia ini si pemalu.
"Aku boleh duduk di sini tidak?" pinta Kiara dengan tersenyum. Tentu saja diangguki oleh Alya, siapa juga orang yang bisa menolak senyum manis milik gadis itu.
Setelah mendudukkan tubuhnya itu, Kiara mulai mengajak Alya mengobrol. Mungkin, menemaninya di tengah sepi ini. Karena, Kiara pun tau bagaimana rasanya sendirian. Kiara pastikan itu sangat tidak enak, dan ia tidak mau orang lain merasakan apa yang ia rasakan.
Saat mereka mulai tertawa bersama karena candaan Kiara, Anindita terheran. Bisa-bisanya si juara itu membuat si pemalu menjadi mau berinteraksi. Karena donatnya sudah lenyap dan Anindita penasaran, ia pun mendekat.
"Mau gabung, dong!" kata Anindita dengan bersemangat.
"Sini, sini," balasnya. Bukan, bukan Kiara yang menjawab. Tapi, Alya si pemalu.
Bahkan, terkadang guru saja masih sulit mengajak si pemalu ini berbicara. Ternyata Kiara dapat mencairkan suasana dengan baik.
Dengan potongan apel yang segar dan gelak tawa yang menambah seru. Kiara juga merasa harinya lebih berwarna dengan hadirnya Anin dan Alya. Mereka bertukar pikiran atau hobi.
"Kalian tau tidak? Meski pintar di sekolah itu penting, aku lebih suka momen seperti ini," sela Kiara di tengah percakapan.
Anindita serta Alya mengangguk setuju. Mungkin sebagian besar orang juga akan suka momen seperti ini. Jika, bersama dengan Kiara.
"Betul banget, momen sederhana yang bisa buat kita makin dekat."
"Itu kamu tahu, Alya. Tapi, kenapa kamu jarang berbaur?" celetuk Anindita. Apalagi kalau bukan karena rasa penasarannya itu.
Alya menggigit bibirnya, ia sebenarnya takut untuk mengungkapkan ini. Tapi, dengan tanggap Kiara mengelus punggungnya. Berusaha menenangkan Alya.
"Tidak perlu takut," tutur Kiara.
Alya pun membuka mulutnya. Ia bercerita dengan panjang sekali. Menceritakan bagaimana awal dari segala ketakutan yang ada di hatinya. Pembullyan itu. Hal yang membuat Alya terbayang-bayang hingga saat ini. Hal yang membuatnya enggan berinteraksi dengan lingkungannya.
Kiara benar-benar sedih mendengarkannya. Mendengar Alya berbicara dengan sangat lirih dan sampai ingin menangis. Kiara tahu ini akan membuat Alya kembali teringat masa yang sudah lewat. Tapi, Kiara ingin Alya meluapkannya. Jika suatu hal selalu dipendam di dalam hati, bisa saja suatu saat akan meledak. Seperti Kiara. Dan sekali lagi, Kiara sangat tidak ingin hal itu terjadi kepada orang lain.
Selagi Kiara mampu, Kiara mau untuk menjauhkan hal-hal buruk dari orang terdekatnya.
Anindita yang physical touch banget, pun memeluk tubuh ringkih Alya. Anin termasuk orang yang cengeng, FYI.
Kiara rasanya ingin tertawa melihat wajah cengeng milik Anindita. Tapi, ini akan sangat merusak situasi, bukan?
"Kamu itu sudah keren dan hebat, Al. Setiap orang punya kelebihan masing-masing. Jangan hiraukan kata yang nyakitin kamu. Aku yakin, lama-lama kamu juga bisa."
Kiara tersenyum sambil mengelus surai mereka berdua, karena ia lah yang paling anti sentuhan fisik ini.
"Kita ada di sini, kok. Besok-besok kita harus bareng sampai lulus!" seru Anindita sambil menahan isak tangisnya.
Alya berbisik lirih, "terima kasih banyak."
Berkat mereka, Alya menjadi lebih tenang dan mau memulai berbaur dengan yang lain.
୨𔓕ׂ ─────── ㅤ✿𝅼 ˙
Catatan: jangan lupa buat vote dan comment-nya, ya! ^___^
With love, Retha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percik Delusi
Teen FictionKiara Alesha, terlihat paripurna menjalani hidupnya. Sosok berparas cantik nan ayu, prestasinya pun cemerlang, mencerminkan nama "Kiara" yang berarti bersihar. Orang yang melihat ia dari kilasan saja mungkin akan muncul sedikit rasa iri, 'kan? Tapi...