CHAPTER 2

13 4 6
                                    

Malam menyelimuti rumah dengan selimut gelap, saat matahari telah tenggelam di cakrawala. Aeris kembali ke rumah dengan langkah lesu, kelelahan terlihat jelas di wajahnya. Jam makan malam telah tiba, dan di ruang makan, kedua kakaknya sudah menunggu dengan ekspresi yang tak terbaca. Suasana yang tenang seolah menyimpan ketegangan di antara mereka.

Alex dengan tatapan yang tajam dan wajah serius, bertanya, "Kemana saja kamu seharian ini?"

Aeris dengan nada dingin menjawab, "Mengurus paspor."

Theo yang duduk di sebelah Alex, menatap Aeris dengan alis mengernyit, "Jadi kamu benar-benar akan ke luar negeri?"

"Tentu saja," jawab Aeris dengan nada tegas. "Kalian pikir aku bercanda?"

Keduanya terdiam, seolah kata-kata Aeris baru saja menancap dalam-dalam. Kemudian, tiba-tiba Alex berkata dengan nada penuh tekad, "Kalau begitu... Theo, kamu harus ikut juga."

Aeris dan Theo terkejut, serentak berteriak, "APA?!!"

Dengan suara penuh emosi, Aeris meluapkan kemarahannya. "Tidak!! Tujuanku mendapatkan beasiswa ini agar bisa menjauh dari kalian! Bukankah ini yang kalian inginkan sejak dulu?! Aku tahu kalian membenciku dan tidak pernah menganggapku sebagai adik, kenapa sekarang tiba-tiba peduli dengan urusanku?!!"

Mendengar kemarahan adiknya, baik Alex maupun Theo tampak syok, wajah mereka memucat. Dengan suara bergetar, Theo mencoba menjelaskan, "Aeris... omong kosong apa yang kau katakan? Kami—"

Dalam kemarahan yang memuncak, Aeris menggebrak meja makan dengan keras, suara gemuruhnya mengguncang ruangan. Dengan mata yang memerah dan air mata mulai mengalir, ia bangkit dari kursinya dan berlari menuju kamarnya tanpa sepatah katapun.

Alex dan Theo saling bertukar pandang, terkejut dan bingung. Theo bertanya dengan nada cemas, "Apakah dia masih marah pada kita?"

Alex, tanpa menjawab, segera berdiri dan berkata, "Tetap di sini." Ia kemudian menyusul Aeris ke kamarnya dengan langkah cepat.

Di dalam kamar, Aeris membanting pintu dengan kasar. Tangisan tersedu-sedu mulai pecah dari bibirnya yang bergetar. "Aku benci! Aku benci kalian!" serunya dengan penuh rasa sakit. Dia menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan melempar bantal ke segala arah. "Kenapa?! Kenapa aku harus selalu terikat dengan kalian?! Aku hanya ingin hidup sendiri!!"

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu kamarnya, membuat Aeris berhenti sejenak dari amarahnya dan menoleh dengan mata yang masih berair. "Aeris..." terdengar suara Alex dari luar, lembut namun penuh kekhawatiran.

Aeris memalingkan wajahnya dari arah pintu, dengan dingin menjawab, "Mau apa?"

Alex menjawab dengan hati-hati, "Apa kamu benar-benar tidak ingin pergi dengan Theo?"

Aeris membalas dengan kemarahan yang membara, "Bukankah sudah kukatakan? Aku ingin menjauh dari kalian berdua! Apa kakak tahu selama ini aku menderita karena kalian!!"

Alex terdiam, menundukkan kepalanya, menyadari betapa dalamnya luka yang telah mereka sebabkan. Aeris kembali menangis, dan berkata dengan penuh keputusasaan, "Aku lelah! Aku tidak ingin berurusan dengan kalian lagi. Aku tidak akan mengganggu kalian, aku akan mengurus diriku sendiri. Jadi anggap saja aku tidak pernah ada di kehidupan kalian. Aku mohon, biarkan aku sendiri."

Dengan suara bergetar, Alex mencoba memanggil dengan lembut, "Aeris... aku—"

Namun, Aeris memotongnya dengan teriakan penuh kemarahan, "PERGI!! Aku tidak ingin mendengar apapun lagi!" Setelah mengucapkan itu, ia menarik selimut dan menutupi wajahnya, terus menangis keras. Suara tangisnya mengisi ruangan, mengisi kekosongan di antara mereka.

Takdir yang BerulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang