CHAPTER 11

5 2 4
                                    

Hari pemakaman. Langit tampak muram, seolah turut berduka cita atas kehilangan besar yang dirasakan oleh keluarga Ashford. Di antara deretan batu nisan yang sunyi, Aeris terduduk diam, menatap makam ayah dan ibunya dengan mata yang kosong.

Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Pada akhirnya, aku tidak bisa mengubah takdir. Apa yang aku lakukan selama ini hanyalah hal yang sia-sia. Aku menyesal. Seharusnya aku menghabiskan waktu lebih lama dengan ibu dan ayah.

Di sampingnya, Theo terisak, suaranya lirih namun penuh dengan kepedihan. "Ayah..." panggilnya disela tangisnya, seolah berharap ada jawaban yang datang dari kedalaman tanah. Alex, yang berada di sampingnya, mengusap kepala Theo dengan lembut, berusaha menenangkannya. Sejak mendengar kabar kematian ayah mereka, Theo tak henti-hentinya menangis sepanjang malam hingga hari pemakaman.

Aeris merasakan keheningan yang menusuk, seolah dunia sekitarnya menghilang, hanya menyisakan rasa penyesalan yang mendalam di hatinya. Ah, padahal aku ingin rasanya menangis sejadi-jadinya untuk menghilangkan rasa sesak di dadaku ini, batinnya . Tapi kenapa air mataku tidak mau keluar?

Dia bergumam pelan, hampir tak terdengar, "Ibu... Ayah... Maafkan aku..."

Sudah tiga hari berlalu sejak pemakaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah tiga hari berlalu sejak pemakaman. Kehilangan John, sang kepala keluarga, membawa dampak yang lebih luas dari sekadar duka. Perusahaan yang ia pimpin mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran. Sahamnya turun drastis, mengancam keberlangsungan perusahaan yang telah menjadi tulang punggung keluarga mereka. Kekacauan ini tampaknya menjadi peluang bagi anggota keluarga besar yang oportunis, mereka datang berbondong-bondong menawarkan bantuan dengan sikap yang tampak manis namun penuh maksud terselubung.

Alex berdiri di kamarnya, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Di hadapannya, berdiri Paman Luke dan Bibi Margaret, keluarga dari pihak ayahnya. "Tolong keluar dari kamarku, Paman, Bibi," ucap Alex dingin, suaranya tak menunjukkan sedikit pun emosi.

"Sikap tidak sopan macam apa ini, Alex?" ucap Paman Luke, rambutnya yang mulai beruban tampak lebih mencolok di bawah cahaya lampu kamar.

"Masa kamu mengusir kami yang sudah jauh-jauh datang ke sini demi kamu?" tambah Bibi Margaret.

"Aku tidak mengusir kalian, aku hanya meminta kalian keluar dari kamarku. Tolong keluar. Apa kalian tidak tahu aku sedang berduka?" balas Alex dingin, matanya menatap tajam kedua kerabatnya itu.

"Tentu saja, karena itu kami datang untuk menghiburmu," ucap Bibi Margaret lagi, mencoba meraih tangan Alex. Nadanya berusaha terdengar lembut namun jelas penuh kepalsuan.

Alex menarik tangannya dengan cepat. "Aku tidak butuh hiburan. Lebih baik kalian hibur saja Theo."

"Alex!!" bentak Bibi Margaret, matanya membulat marah.

"Aku mohon," ucap Alex lagi, suaranya mulai menunjukkan kelelahan yang mendalam. Ia hanya ingin sedikit ketenangan di tengah duka yang menyelimuti hatinya.

Takdir yang BerulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang