Bab 11

5 2 5
                                    

"Layakkah aku tetap menggenggam asa, ketika cinta suci telah kau persembahkan padanya? Seperti angin yang tak pernah bisa terikat, hati ini tetap berlayar, meski sang akal memohon untuk berhenti berlabuh."



~Happy reading~

Keesokan harinya, Rizal mengajakku bertemu. Hubunganku dengan Rizal memang bisa dibilang cukup dekat sejak pertemuan pertama kami waktu itu. Dari caranya memperlakukan aku, sudah jelas bahwa Rizal mulai menyimpan rasa. Namun, hatiku sudah memiliki jawaban yang pasti—hanya untuk Nafiz.

Aku tahu betul perasaanku kepada Nafiz. Kali ini, aku dan dia mulai saling jujur tentang apa yang kami rasakan. Rasanya seperti beban besar terangkat dari dadaku, dan untuk pertama kalinya, ada keyakinan bahwa perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan.

Hari ini, entah mengapa Rizal tiba-tiba mengajakku untuk bertemu. Namun, aku menolaknya dengan alasan sibuk mengurus berbagai kegiatan di sekolah. Aku dapat merasakan kekecewaan dari balasan pesannya, meski ia mencoba menyembunyikannya. Aku hanya bisa meminta maaf, karena aku tahu aku tidak bisa membiarkan Rizal menyimpan perasaan lebih terhadapku. Hati ini sudah tertambat pada Nafiz.

Beberapa hari berlalu, hingga akhirnya Nafiz mengungkapkan sesuatu yang membuat hatiku berdebar. Dia mengatakan bahwa dia menyukaiku dan ingin aku menjadi seseorang yang spesial baginya. Meski kami belum sepenuhnya berpacaran, pernyataan itu membuatku yakin bahwa hubungan kami akan menjadi lebih dekat dan istimewa.

Keesokan harinya, beberapa teman mengajakku dan Nafiz untuk ikut bermain ke sebuah mall. Salah satu acara yang kami nantikan adalah masuk ke rumah hantu. Tentu saja, kami semua bersemangat. Ini akan menjadi pengalaman yang seru dan, siapa tahu, bisa menjadi kesempatan bagiku dan Nafiz untuk semakin dekat.

Setelah sampai di mall, aku segera bertemu dengan Nafiz. Seperti biasanya, dia memperlihatkan perhatiannya yang hangat. Dia membelikanku air minum dan tersenyum sambil berkata, "Nih buat kamu, kamu pasti haus kan? Minum dulu." Genggaman tangannya pada botol itu terasa begitu tulus, membuat hatiku hangat. Namun, di sisi lain, aku menangkap sorot mata Rizal yang penuh kecemburuan.

Rizal, yang tak ingin kalah, beberapa kali mencoba mengajakku berbicara. Dia bertanya tentang banyak hal, mulai dari sekolah hingga kegiatan yang aku lakukan belakangan ini. Tapi Nafiz, seolah tak ingin memberinya celah, terus mendekatiku. Bahkan, dia sesekali melemparkan gurauan yang membuatku tertawa kecil, sementara Rizal hanya bisa diam dengan raut wajah yang sulit disembunyikan.

Hari ini benar-benar terasa aneh. Aku seolah berada di antara Nafiz dan Rizal, dua sosok yang sama-sama menunjukkan perasaan mereka dengan caranya masing-masing. Rasanya sungguh rumit—mendapatkan perhatian penuh dari dua lelaki sekaligus, keduanya begitu menggebu-gebu, seolah tak ingin kalah satu sama lain.

Aku mencoba tetap bersikap netral, tetapi jantungku tak henti berdebar setiap kali Nafiz tersenyum. Dan di saat yang sama, tatapan Rizal yang penuh makna itu terus menggangguku. Hari ini mungkin akan menjadi hari yang panjang, dan aku tahu, aku harus lebih tegas dengan perasaanku.

Sampai saat semua sudah mengantri untuk masuk rumah hantu, aku memutuskan untuk bergabung dengan teman-teman perempuanku, seperti Dzalika, Nazwa, dan beberapa teman lainnya. Kami berbincang ringan untuk mengalihkan perhatian dari rasa tegang yang mulai menyelimuti suasana.

Di sisi lain, Rizal dan Nafiz bergabung dengan kelompok laki-laki lainnya. Rasyid, Rafa, Ardi, dan Fahri. Mereka terlihat santai, saling bercanda untuk mengusir rasa gugup. Tapi aku bisa menangkap sesekali tatapan Rizal dan Nafiz yang mengarah padaku, meskipun mereka berpura-pura sibuk dengan percakapan mereka.

Se(a)e LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang