04. Saat Mimpi Harus Berhenti

1.1K 121 24
                                    

"Mimpi yang selama ini menjadi bahan bakar hidupku, kini terasa seperti pasir yang terlepas dari genggaman."—Liamendra Madaharsa

***


Liam memandangi hasil pemeriksaan di tangannya. Tangannya bergetar, seolah-olah kertas tipis itu memiliki berat seribu kilogram. Kata "kardiomiopati" terus berputar di kepalanya, menghantam kesadarannya berulang kali. Dunia yang ia bangun dengan susah payah, mimpi yang selama ini menjadi bahan bakar hidupnya, kini terasa seperti pasir yang terlepas dari genggamannya.

"Ini pasti salah," gumam Liam, hampir tidak terdengar. "Nggak mungkin ... di keluarga saya nggak ada yang punya riwayat penyakit jantung, Dokter. Ini pasti kesalahan!" suaranya mulai meninggi, lebih kepada meyakinkan dirinya sendiri daripada membantah sang dokter.

Dokter itu menatap Liam dengan tatapan penuh simpati, tetapi tegas. "Liam, saya mengerti ini sulit diterima. Namun, hasil pemeriksaannya sudah jelas. Kardiomiopati bisa disebabkan oleh banyak hal—virus, kelelahan berlebihan. Saya sangat menyarankan agar kamu segera menghentikan aktivitas fisik yang berat."

Liam menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering. Dia menarik napas panjang, seolah mencoba menyingkirkan kenyataan pahit ini. "Lalu, bagaimana dengan karier saya? Menyanyi itu hidup saya, pekerjaan saya. Saya tidak bisa begitu saja berhenti." Suaranya pecah di akhir kalimat.

"Pekerjaan memang penting, Liam, tapi nyawamu lebih berharga. Kondisimu memerlukan perhatian serius. Jika kamu tidak berhenti sekarang, maka risikonya akan semakin besar," jawab dokter, nadanya penuh empati. "Kamu masih muda dan ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengobati kondisi ini, tapi kamu harus memberi tubuhmu kesempatan untuk sembuh."

Liam terdiam. Hatinya terasa sesak, bukan karena penyakit itu, tetapi karena ketidakadilan hidup yang tiba-tiba menghantamnya. Mengapa ini terjadi padanya? Setelah segala pengorbanannya, setelah kabur dari rumah, meninggalkan keluarganya yang kecewa—dan sekarang, ketika kariernya baru saja meroket, semuanya terancam hancur begitu saja?

"Apa mimpiku harus berhenti di sini?" gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Matanya kosong, menatap lantai tanpa fokus.

Di sisi lain ruangan, Bara yang selama ini setia mendampinginya, merasakan sesuatu yang patah di dalam hatinya. Ia tidak pernah membayangkan, sosok yang selama ini kuat dan gigih seperti Liam, akan terlihat begitu rapuh. Bara mendekati Liam, tangannya meraih bahu sang artis, meremasnya lembut.

"Liam." suara Bara bergetar sedikit. "Kakak tahu ini berat. Kakak tahu kamu nggak siap buat denger kabar ini, tapi ini belum akhir dari segalanya. Kamu masih bisa sembuh, Li. Masih ada harapan."

Liam mendongak perlahan, matanya yang biasanya penuh semangat kini tampak kosong, diliputi kesedihan dan ketakutan yang mendalam. "Aku takut, Kak, gimana kalo aku nggak bisa sembuh? Gimana kalo aku kehilangan semuanya? Mimpiku, Kak, hidupku. Aku nggak bisa bayangin harus berhenti."

Bara menarik Liam ke dalam pelukannya, memeluk erat seolah ingin menyalurkan kekuatan. "Kamu nggak sendirian, Li. Kakak di sini. Kita hadapin ini sama-sama. Kamu pasti sembuh, dan kita bakal lewati ini. Percaya sama Kakak."

Liam terisak pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku nggak mau sakit, Kak," lirihnya, suaranya pecah penuh keputusasaan. "Aku harus sembuh. Aku nggak mau kehilangan semua yang udah aku capai."

Bara mengelus punggung Liam dengan lembut, mencoba menenangkan. "Kamu akan sembuh, Li. Ini mungkin bakal jadi perjalanan yang berat, tapi Kakak tahu kamu kuat. Kamu udah melalui banyak hal untuk sampai di sini. Jangan menyerah sekarang."

Liam menutup matanya, merasakan pelukan hangat Bara. Rasa takut masih menyelimutinya, tetapi di dalam pelukan itu, ia merasa sedikit lebih aman. Namun, jauh di dalam hatinya, bayangan tentang masa depan yang tidak pasti terus menghantuinya.

***

Sudah beberapa hari ini Liam terbaring di ranjang rumah sakit, sampai saat ini pemuda itu masih merasa sulit mempercayai kenyataan pahit yang menghantamnya. Di usianya yang masih muda, ia kini harus menghadapi penyakit yang tak terbayangkan-penyakit mematikan yang perlahan merenggut impian dan masa depannya. Liam bertanya-tanya, mengapa ini terjadi padanya?

Tangannya yang lemah itu bergerak pelan, menyentuh dadanya yang terasa sesak. Di sana, di balik tulang-tulang rapuhnya, rasa sakit itu bersembunyi. Rasa sakit yang menegaskan bahwa ia sakit saat ini, keadaannya tak lagi sama seperti dulu. Liam memejamkan mata, berusaha merasakan detak jantungnya yang masih berdetak.

"Apa ini balasan karena aku menentang Ayah sama Bunda?" suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam kesunyian ruang rawat. Liam teringat bagaimana ia menentang keinginan orang tuanya, memilih karier musik daripada mengikuti jalan yang mereka rencanakan. Liam merasa tubuhnya menanggung dosa dari kekecewaan yang pernah ia berikan kepada mereka.

Helaan napas panjang keluar, membiarkan pandangannya terarah pada langit-langit putih di atasnya. Rumah sakit ini, pikirnya, mungkin akan menjadi tempatnya tinggal lebih lama dari rumah atau panggung manapun.

Liam kemudian meraih ponsel di nakas sebelah ranjangnya. Notifikasi media sosial terus berdatangan—pesan dari penggemar dan media yang bertanya-tanya tentang kondisinya. Mereka penasaran, tetapi Liam belum siap mengakui kebenarannya. Dia tak ingin membuat para penggemarnya cemas atau sedih. Bara dan Andri, asisten dan manajernya itu sudah ia minta untuk mengatakan bahwa dirinya hanya butuh waktu rehat sejenak. "Nggak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya kepada mereka.

Liam membalas beberapa pesan penggemarnya dengan senyuman tipis yang terpaksa. "Aku baik-baik saja, jangan khawatir. Aku hanya butuh istirahat," tulisnya, meski jauh di lubuk hatinya, ia tahu itu hanyalah setengah dari kebenaran.

Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka perlahan. Bara dan Andri masuk, menghampiri Liam dengan wajah yang sama-sama tegang namun berusaha tegar. Bara, si asisten yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya itu langsung mendekati ranjang dan duduk di kursi samping. Sementara itu, Andri—manajernya berdiri di dekat kaki ranjang, memandang Liam dengan mata penuh simpati.

"Liam." suara Andri lembut, tetapi terdengar tegas. "Kamu sudah pikirkan keputusannya? Apa yang kamu inginkan ke depannya? Apa pun itu, aku akan mendukungmu sepenuhnya."

Liam menatap manajernya, merasa sesak oleh perasaan bersalah. Ia tahu Andri, dan juga Bara, telah menginvestasikan waktu dan tenaga untuk kariernya, dan sekarang dia malah mengecewakan mereka di puncak kesuksesannya. "Maaf, Pak. Aku merasa sudah membuat semua orang kecewa."

Andri tersenyum tipis, penuh kebapakan. "Jangan bilang begitu. Kamu enggak buat kami kecewa. Yang paling penting sekarang adalah kamu. Apa yang kamu inginkan? Apa yang menurutmu terbaik untuk dirimu sendiri?"

Liam merasakan bibirnya bergetar. Dia bingung. Pilihan-pilihan yang harus diambil kini terasa terlalu berat. "Sepertinya, aku akan memilih untuk hiatus, Pak. Aku ingin fokus pada pengobatan, karena aku tahu penyakit ini bukan hal yang bisa diabaikan begitu saja."

Andri mengangguk pelan, merasa lega mendengar keputusan Liam. "Itu keputusan yang tepat. Aku juga setuju, Liam. Kamu harus fokus untuk sembuh. Kami semua akan mendukung apa pun yang terbaik buat kamu."

Walau demikian, di dalam hati Liam, masih ada satu keinginan terakhir yang belum tersampaikan. Matanya berkaca-kaca saat ia mencoba menyusun kalimat berikutnya. "Pak, sebelum itu, aku punya satu permintaan terakhir. Aku ingin ... bernyanyi satu kali lagi, di atas panggung. Aku ingin memberikan yang terakhir untuk mereka, untuk para penggemarku. Hanya sekali lagi, sebelum aku benar-benar rehat."

Andri dan Bara saling berpandangan. Bara mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan emosi yang hampir pecah. Sementara Andri menghela napas panjang, menyadari betapa dalamnya cinta Liam pada musik dan para penggemarnya.

"Liam." Andri melangkah lebih dekat, menatap sang artis dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya. "Jika itu yang kamu inginkan, kami akan mewujudkannya, tapi tolong jaga kesehatanmu. Ini harus benar-benar yang terakhir sebelum kamu fokus pada pengobatan."

Liam tersenyum lemah, matanya memandang nanar pada langit-langit. Dalam hatinya, ia tahu, panggung itu mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya ia berdiri di bawah sorotan lampu, menyanyikan lagu yang ia cintai. Namun, setidaknya, ia akan meninggalkan kenangan indah untuk dirinya dan juga penggemarnya.

"Aku akan melakukannya, Pak. Untuk mereka dan untuk diriku sendiri. Setelah itu, aku siap menghadapi apa pun yang menanti."

[]

Lampung, 05112024

Lagu Terakhir untuk Pulang ✓ (Open PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang