Seara mencengkeram erat tangan Luna dan menyeretnya segera ke hadapan Matheo karena gadis itu sengaja memperlambat jalan. Pergelangan tangannya terasa panas, sakit.
“Lepaskan, Seara, sakit,” rintih Luna yang membuat Seara memutar kesal bola mata lalu meliriknya dengan tajam.
Seara melepaskan tangan Luna sembari melempar tubuhnya ke hadapan Matheo yang sudah duduk dengan menyilangkan kaki, seperti seorang raja yang sedang menunggu prajuritnya untuk tunduk. Luna bersimpuh dengan ketakutan untuk menatap tiga orang yang sudah duduk di sofa dengan lagaknya itu.
Tatapan Ryland teralihkan saat dia melihat Raiden turun dari tangga sembari menenteng koper kerjanya. “Mau pergi ke kantor di hari Minggu?” tanya Ryland layaknya seorang adik yang menyapa kakaknya dengan manis.
Lelaki itu hanya melirik Luna yang bersimpuh dengan tidak nyaman dan sama sekali tidak berniat membalas sapaan adiknya. Sepertinya dia memang tidak memiliki pita suara. Seperginya Raiden dari ruangan tersebut, Ryland langsung menggerutu dengan kesal karena niat baiknya tak dihiraukan.
“Orang gila,” desis Ryland dengan perasaan yang dongkol.
Seara hanya menarik sudut bibir.
Sementara Matheo tertawa keras seperti melihat pertunjukan komedi paling menggelitik. Tawanya berangsur hilang lalu berkata, “Ternyata orang itu memang bisu.”
“Kita apakah dia?” sahut Seara, mengalihkan topik pembicaraan.
“Aku harus melihatnya berenang bersama piranha kesayangan kita.”
Mendengar itu, Ryland dan Seara diam saja dan membuat Matheo bertanya-tanya. Dia menelisik tajam ke arah dua tersebut secara bergantian. Ryland mengangkat kedua bahu sementara Seara menyengir manis. Matheo langsung kesal sampai mengepalkan tangan.
“Kenapa kalian bersenang-senang dulu tanpaku?”
“Tidak ada yang bersenang-senang juga karena kak Rayne menolongnya.”
Namun, tetap saja Matheo merasa kesal sampai ingin menampar Luna yang berada di depan. Rupanya, membuat orang hampir mati beku saat berenang dengan piranha bukanlah pertama kalinya. Setiap ada orang yang membuat mereka kesal, orang itu akan diundang ke rumah dan didorong ke dalam kolam berisi piranha.
Akan dibiarkan orang itu menangis meraung-raung. Saat berusaha keluar dari air, akan didorong lagi. Orang tersebut hanya akan ditolong ketika berjanji mengucapkan permintaan maaf sembari bersimpuh seperti pengawal.
Matheo menggigit bibirnya sembari memikirkan cara apa yang akan membuatnya puas dengan melihat Luna menderita. Di satu sisi, gadis itu sudah mau menangis karena lututnya terasa sakit akibat benturan saat didorong oleh Seara.
Lalu, dengan bangganya dia memamerkan seringaian tajam yang membuat nyali siapa pun langsung menciut. Luna yang tak sengaja melihatnya pun langsung tertunduk lagi dengan cepat. Sedetik kemudian dia menyuruh Ryland dan Seara menyeretnya untuk naik ke lantai dua.
Kali ini pun Luna tidak tahu apa yang ingin mereka lakukan yang pasti dia hanya meronta saat tangannya diseret untuk naik ke lantai dua. Matheo berjalan mendahului dengan kedua tangan masuk ke dalam saku.
Di lantai bawah, ada Mbak Nuna yang mengintip apa yang mereka lakukan sampai menjadi cemas sendiri, tapi tidak bisa melakukan apa pun.
Luna dibawa masuk ke kamarnya sendiri. Seara langsung berkeliling untuk melihat perabotan-perabotan yang ada di rumah tersebut.
Dia menyentuh sebuah kotak musik, begitu dia pencet tombol musik, suara yang terdengar tidak sesuai dengan seleranya sehingga dia inisiatif untuk membuangnya ke lantai hingga pecah.
“Lagu ini membuat telingaku rusak,” keluhnya.
Emosi Luna membuncah, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Kotak musik itu adalah kado dari sahabat terbaiknya, dan kini harus serupa puing-puing yang tak layak lagi untuk dilihat.
Seara lalu menatap Ryland yang berdiri setengah bersandar pada meja tinggi dari kayu jati itu. Matheo sendiri sedang menatap jahat Luna yang berbaring tak nyaman setelah dilempar ke atas tempat tidur.
“Kamu yakin ingin melakukannya lagi?” tanya Ryland dengan sedikit ragu.
“Umpan datang ke sendiri, bukankah seharusnya kita santap?”
“Bagaimana jika ayah tahu dan menyeretmu keluar lagi?”
Lantas, dengan suara dingin Matheo berkata, “Maka aku akan membunuh tamu ini di hadapan ayah.”
Ucapannya tidak jauh berbeda dengan Seara yang selalu kejam. Gadis itu tertawa dengan senang, disusul oleh Ryland yang mau tidak mau harus menikmati ketakutan di wajah Luna.“Apa yang akan kalian lakukan kepadaku?” tanya gadis itu. Matheo mendekat, membuat Luna berusaha menjauhkan tubuh. “Hentikan.”
“Ayolah, jangan berontak atau kamu akan menyesal.”
Seara tertawa sembari bertepuk tangan. Matheo mulai menyentuh tubuh Luna, gadis itu spotan menghempas tangannya dan membuat Matheo menggeram. Luna sangat ketakutan, dia tidak bisa membayangkan kalau rencana dalam kepala Matheo dan apa yang diduganya akan menjadi kenyataan.
“Jangan Matheo.”
“Bersantailah, ini akan menyenangkan,” katanya sembari perlahan menyentuh pipi lembut Luna, lalu turun ke bibir, mulai merayapi leher dan sebentar lagi turun ke bawah.
Akan tetapi, mendadak telepon genggamnya berdering di saku dan mau tidak mau dia harus memeriksanya. Tertera dengan jelas kalau itu adalah panggilan dari sang ayah. Dia menggigit bibir sebentar lalu mengangkat panggilan video itu. Wajah manis langsung dipasang dengan sempurna.
“Halo, Ayah.”
“Apa yang kamu lakukan di kamar Luna?”
“Aku hanya ingin mengajak kenalan, tidak lebih. Dia saudara baruku, bukan?”
“Keluar dari sana sekarang juga!”
Ryland dan Seara sejak tadi menyimak percakapan antara adik mereka dengan sang ayah dan merasa sedikit cemas-cemas sedap. Setelah panggilan itu berakhir, Matheo langsung melengos pergi keluar dari kamar.
Ryland sempat menitipkan kalimat terakhir. “Anggap saja keberuntunganmu.”
Kepergian mereka dari ruangan putih itu membuat Luna bernapas lega. Dia menutup kedua matanya dengan tangan dan membebaskan tangisannya. Luna tak tahu apa yang akan ia alami kalau ayahnya tidak menelepon.
Matheo lebih mengerikan daripada Ryland maupun Seara. Dan sepertinya Luna tidak boleh bersantai dan harus segera mencari tahu apa yang membuat Matheo keluar dari rumah ini untuk beberapa saat dan kembali lagi. Dia harus menggali apa pun tentang tiga orang kejam itu jika ingin terselamatkan di rumah ini.
Luna spontan berhenti menangis dan jantungnya derdebum keras. Dia mendadak terpikirkan apa yang membuat mereka bertiga keluar dari rumah ini selain karena ayahnya menelepon. Pasti ada hal lain yang dilakukan oleh mereka.
Dia memberanikan untuk turun dari kamarnya dan kemudian sebuah suara menyambar telinga. Segera dia mendekat ke arah suara itu dan melihat Matheo sedang menyiksa Mbak Nuna. Luna yang iba langsung memeluk asisten rumah tangga itu sembari memasang raut wajah penuh permohonan.
“Pergi dari sini atau kubunuh kamu!” teriak Matheo dengan sedikit kesetanan. Matanya nyalang melihat ke segala arah dan pergi mengambil pisau. “Apa kamu ingin mati di hari-hari pertamamu tinggal di sini?”
Pisau yang mengacung itu membuat darah seolah membeku pada tubuh Luna. Dia tak peduli kalau harus mati, yang pasti dia harus melindungi orang tak bersalah ini.
“Lepaskan benda ini,” kata Ryland sembari membuat pendekatan yang baik dan berusaha memindahkan benda itu dari tangan adiknya.
“Atau seharusnya kubunuh saja mereka berdua? Manusia hina satu ini sudah mengganggu rencanaku. Berani-beraninya dia mengadukanku kepada ayah.”
“Jangan lakukan kepada mbak Nuna, lakukan saja kepadaku. Dia tidak bersalah,” ujar Luna.
“Baiklah kalau begitu. Cepat kembali ke kamarmu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Something Happened on The Beach
Teen Fiction-Hilang ditelan ombak tengah malam. Tanpa jejak, tak seorang pun tahu. Sesak, asing, mati di dalam air yang tak pernah ia kenal.- Blaze La Luna terpenjara di sebuah sangkar mewah yang membuatnya sulit bergerak, apalagi meraih mimpi. Jiwa Luna sepert...