7. Kenangan Lampau

21 17 5
                                    

Luna berdiri dekat jendela sembari memeluk lengannya. Tak ada yang serius dipikirkan selain bagaimana cara bertahan di rumah ini. Sebuah komik tergeletak begitu saja di atas tempat tidur sebab sudah tidak lagi bisa dinikmati, isinya sudah habis Luna telan dalam dua hari.

Kini dia berdiri di sana sebab bosan, menyaksikan tukang kebun yang memangkas tanaman kesukaan Wijaya, kucing milik Raiden yang berlarian menggoda tukang kebun. Tidak disangka juga, lelaki sedingin Iglo itu menyukai kucing yang notabene sangat manis dan manja. Bagaimana cara dia tersenyum pada kucing tersebut.

Melihat hewan berbulu putih itu, Luna menjadi teringat lagi kepada Lulu, kucing ras British Shorthair milik sang ibu. Lulu lebih memilih menemani ibunya di surga daripada mendampinginya di dunia.
Kala itu. Setahun yang lalu.

Luna berencana pergi ke pantai yang ada di Jawa Barat bersama dua sahabatnya yang masih bertahan, Nara dan Abraham. Namun, sesuatu memaksanya untuk menggagalkan rencana tersebut sebab telepon yang berdering di saku memberitahu kalau ibunya meninggal dunia.

Dia berlari dari gerbang menuju rumah dengan perasaan hancur. Tubuhnya jatuh berkali-kali sebab begitu lemas. Sahabatnya mencoba membantu berdiri, tapi Luna menolak karena dia ingin menemui sang ibu untuk terakhir kali dengan usahanya sendiri.

Para pekerja di rumah langsung menunjukkan belasungkawanya kepada gadis malang tersebut. Tangisannya menggerung, turun serupa air terjun kecil, bukan lagi buliran air mata. Sahabatnya berusaha mendekap erat ketika Luna mencegah orang-orang untuk membawa ibunya ke pemakaman.

Hari-harinya menjadi abu yang lantas menjadi hitam tanpa setitik cahaya. Para ART pun meninggalkan rumah satu-persatu sebab majikan mereka telah tiada. Dan di rumah besar itu dia berduka sendirian. Berulang kali sahabatnya datang, tapi terakhir kali Luna memberitahu agar mereka berhenti berkunjung.

Sahabat sejati tak peduli seberapa keras larangannya, Nara dan Abraham tetap datang tapi Luna langsung meneriaki mereka dan mengusir. Kemudian dia terisak-isak dari balik pintu.

Luna merasa membebani mereka. Dia juga merasa dikasihani yang justru membuatnya malu dan lemah. Dan berakhirlah dia hanya bersama Lulu. Namun, rupanya Lulu juga meninggalkannya sendirian.

Tanah di belakang rumah Luna gali sendiri, sedalam yang dibutuhkan untuk mengubur Lulu. Tangannya gemetaran memasukkan hewan manis yang telah terbungkus kain putih itu. Tangisannya mengiringi proses pemakaman. Setangkai mawar Luna tancapkan di ujung makam sebagai batu nisannya.

Luna tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini. Seharusnya Luna melakukan daftar ulang mengenai kuliahnya, tapi dia abaikan begitu saja, padahal impiannya untuk satu kampus dengan Nara akan segera terwujud.

Satu hentakan kecil sepatu berhenti di sebelahnya. Luna mendongak spontan dan tangisannya terurai deras.

“Ayah,” serunya dengan bibir yang bergetar, “kenapa baru datang?”

“Maaf, Luna.”

Gadis itu menjauhkan pelukannya lalu mengusap air mata seakan telah kembali tegar.

“Maaf, Luna. Ayah baru tahu soal ini karena … karena—”

Matanya memandang wajah ayah dengan sedikit kecewa. “Aku tahu ibu bukanlah satu-satunya.”

“Sejak kapan kamu tahu?”

“Setahun yang lalu. Sebab itu aku tidak pernah lagi meminta ayah untuk datang lebih dari satu kali seperti tahun-tahun sebelumnya. Aku sadar aku tidak bisa meminta hal yang bukan milikku.”

“Luna, ayah …”

“Aku tidak marah.”

“Syukurlah.” Wijaya terlihat sumringah.

Something Happened on The BeachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang