8. Kebohongan Berlarut-larut

22 18 0
                                    

Luna mengetuk ruangan kerja ayahnya dan langsung disuruh untuk masuk. Sang ayah menunjuk kursi di depannya dengan isyarat mata. Luna duduk dengan eskpresi penuh tanda tanya tentang mengapa ayahnya memanggil ke mari. Lelaki itu menggeser tabletnya agar bisa leluasa bertatapan dengan putri pertamanya.

“Apakah kamu bahagia tinggal di sini? Saudaramu sangat baik, kan?” Pertanyaan yang dilontarkan sang ayah langsung membuatnya tercengang.

Gadis itu tersenyum kecil pura-pura mengiyakan saja. Baik jika dilihat dengan mata terpejam mungkin maksudnya.

“Bagaimana dengan kampusmu?” Pertanyaan lanjutan dari Wijaya membuat Luna bingung menjawabnya. Jelas dia tidak suka, tapi bagaimana reaksi ayahnya jika dia mengatakan hal tersebut?

Wijaya melambai di depan muka Luna dan spontan membuatnya tersadar. “Bagaimana dengan kampusmu, apakah kamu suka?”

Luna angguk kepala. Celana santainya diremas kuat. “Ayah, apa aku harus mengambil jurusan bisnis?”

“Ya.” Wijaya mengangguk dengan antusias. “Nanti kamu akan mengikuti jejak kakak-kakakmu untuk mengembangkan perusahaan kita.”

Sesuai dengan dugaan Luna sebelumnya, dia dibawa ke rumah ini hanya untuk membangun dinasti perusahaan, bukan karena rasa sayang. Kalau sayang, Luna tidak akan pernah dibohongi seumur hidup.

Rasanya ingin menertawakan kehidupan yang sangat jenaka ini.

“Ayah.”

“Hm?”

“Aku ingin tahu, apakah rumah itu dirawat dengan baik.”

Ayahnya tertawa kecil. “Jelas. Ayah sudah menyewa tukang untuk menjaga dan membersihkan rumah itu. Semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana selama kamu menurut.”

“Aku memang tidak pernah berniat membangkang,” ucapnya. Dan inilah salah satu sisi Luna yang pemberani.

Wijaya menaikkan kedua alis. “Ayah sangat yakin dengan hal tersebut.”

Luna keluar dari ruangan itu dengan perasaan hampa, tak ada kabar baik yang didengar ataupun kabar buruk sebab dia sudah memprediksi sebelumnya. Sialnya dia malah bertemu dengan Seara yang baru keluar dari ruangan Parita, ibu tiri Luna.

Gadis itu melompat–lompat kecil ke arahnya. Disenggolnya lengan Luna dengan pelan. “Apa yang baru saja kamu lakukan di ruang kerja ayah? Apa dia memberimu uang, aku ingin lihat.”

Namun, Luna tidak membalas pertanyaan Seara yang antusias dan penuh senyuman itu. Alhasil, dia langsung menjambak rambut Luna sampai gadis itu kesakitan. Luna merintih memohon dilepaskan, tapi Seara telanjur geram.

Mendengar ruang kerja ayahnya berbunyi, Seara segera mengacak-acak rambutnya dan pura-pura menangis. Luna sendiri langsung meliriknya dengan risi sembari menahan sakit di kulit kepala.

“Seara, Luna, ada apa?” Wijaya berjalan mendekat.

“Ayah, kak Luna menarik rambutku.” Gadis itu bergelayut manja memeluk ayahnya. “Padahal kan aku baru perawatan dari salon kemarin, sekarang kusut lagi.” Dia menunjukkan ke ayahnya bentuk rambut yang tak rapi barisannya.

“Benar begitu, Luna? Seharusnya kalian ini akrab dan pergi ke salon bersama,” kata Wijaya.

Luna menggeleng kuat. “Tidak, Yah. Aku tidak melakuka—”

Belum juga Luna merampungkan pembelaan, Seara langsung menangis lagi dan membuat ayahnya seketika percaya. Lelaki paruh baya itu menatap geram ke arah Luna.

“Minta maaf sekarang!”

“Tapi, Ayah ….”

“Minta maaf juga sekarang ke adik kamu! Bukankah tadi kamu bilang tidak berniat membangkang?”

Something Happened on The BeachTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang