Kamu benar-benar pewarna hidup yang selama ini aku tunggu.
•••
Di tengah malam yang sunyi, Arbela duduk di tepi ranjang kamarnya, menatap kosong ke dinding. Mata beningnya mulai basah, teringat kembali suara keras dan amarah yang bergema di ruang tamu tadi.
Kedua orang tuanya bertengkar lagi—mungkin ini sudah kesekian kalinya dalam minggu ini. Setiap kata yang terlontar masih terngiang jelas di kepalanya, meresap seperti racun yang perlahan menggerogoti hatinya.
Arbela menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Rasa kecewa, marah, dan tak berdaya bercampur menjadi satu, membuat dadanya sesak.
Dia ingin lari, melupakan semuanya. Tapi ke mana? Rumah ini adalah tempat yang seharusnya menjadi perlindungan, tapi kini rasanya seperti penjara bagi perasaannya.
Saat ia hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba saja pintu rumahnya diketuk dua kali. Ia mengabaikannya karena tak ada suara yang memanggil. Lagipula, ini sudah larut malam; siapa yang ingin bertamu malam-malam?
Namun, saat Arbela sudah merebahkan tubuhnya, tiba-tiba kaca jendela kamarnya diketuk beberapa kali, membuatnya terlonjak kaget.
"Sayang..." Suara lembut itu membuat Arbela menghela napas.
Gadis yang mengenakan piyama berwarna biru langit itu berjalan menuju pintu kamar dan membukanya, lalu berjalan menuju pintu utama rumah berlantai satu itu.
Cklek...
Di depan pintu, sudah ada seorang cowok dengan tinggi 176 cm yang sudah bersama Arbela selama dua tahun ini.
"Ini sudah malam." Bahkan untuk mengucapkan tiga kata itu, Arbela merasa berat sekali membuka mulut.
"Kamu bisa pingsan kalau aku biarkan sampai besok. Aku sudah biarkan kamu menyendiri sampai tengah malam, sekarang kamu harus menurut sama aku," ujar cowok itu dengan tegas. Ia tidak menerima penolakan dari gadisnya, jadi ia menarik pelan lengan kanan Arbela dan menyuruhnya duduk di salah satu kursi di teras rumah.
"Aku nggak mau makan," tolak Arbela begitu sang kekasih menaruh satu kantong plastik di atas meja bundar di samping kiri Arbela.
Cowok yang duduk di sebelah kiri meja itu pun menatap Arbela dengan kesal. "Kamu mau dirawat di rumah sakit?" sarkas cowok itu.
"Aku nggak lapar, Zo," elak Arbela, namun suara perutnya berbunyi nyaring.
Fanzo terkekeh geli, ia menyentil pelan punggung tangan Arbela. "Zo, Zo. Aku pacar kamu!" tegas Fanzo, lalu ia mengeluarkan dua bungkus sate dan dua botol air mineral.
"Nih, sate sama lontong, pedas." Fanzo menyodorkan sebungkus sate yang sudah dibukanya. "Aku izinkan kamu makan pedas tengah malam gini karena aku ingin kamu makan. Pelampiasan kamu kan di makanan pedas? Jadi sekarang makan."
Arbela menatap sendu pada Fanzo; perhatian kekasihnya sungguh menyentuh hatinya. "Kamu beli berapa tusuk?" tanya Arbela, tetapi ia malah menghitungnya sendiri karena terlihat banyak di matanya.
"Jangan protes, buruan makan." Fanzo cepat-cepat berbicara saat Arbela selesai menghitung dan hendak membuka mulut. Fanzo tahu gadisnya akan protes karena ia membelikan gadis itu 15 tusuk sate lengkap dengan lontong.
"Kamu mau aku gendut, ya?" Tetap saja, Arbela melayangkan protesnya. Ini sudah tengah malam dan pacarnya memaksanya makan sate sebanyak itu.
"Iya, kamu sekarang kurus, aku nggak suka." Tersirat nada sedih saat Fanzo berbicara, dan itu membuat Arbela langsung terdiam.
"Jangan sedih lagi, makan, kalau nggak habis aku bantu." Fanzo mendorong bungkus sate itu agar semakin dekat dengan Arbela.
Akhirnya, Arbela menurut. Mereka berdua mulai makan dengan tenang. Tak ada perbincangan di antara mereka, hanya ponsel milik Fanzo yang mengeluarkan suara dan menampilkan video dari aplikasi YouTube. Mereka berdua menonton film Upin-Ipin yang terbaru, yang belum sempat Fanzo tonton. Ya, cowok itu suka Upin-Ipin.
Sekitar setengah jam kemudian, Fanzo dan Arbela menyelesaikan makan mereka masing-masing. Fanzo tersenyum simpul melihat Arbela yang menghabiskan makanannya tanpa sisa. Gadis itu memang selalu lahap jika dibelikan makanan olehnya. Gadis itu protes "banyak" hanya karena merasa tidak enak, padahal Fanzo tahu gadis itu mampu menghabiskannya.
"Kamu nggak sepucat tadi," seru Fanzo dengan senang.
"Memangnya tadi aku pucat?" tanya Arbela sambil mengelap mulutnya dengan tisu yang tadi sempat diambil di sela-sela makannya.
"Banget, kamu nggak makan dari sore, jelas kamu pucat banget," jelas Fanzo, yang hanya dibalas senyuman oleh Arbela.
Akhirnya...
Fanzo bernapas lega saat Arbela tersenyum. Itu artinya hati gadis itu perlahan mulai kembali seperti semula.
Fanzo bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di hadapan Arbela. "Jangan pikirkan apa yang tadi terjadi. Ada aku di samping kamu. Semoga ke depannya ketenangan kamu bisa aku dampingi. Jangan terus-terusan sendiri ke depannya, cari aku saat kamu merasa butuh ketenangan, ya? Aku bisa kasih itu buat kamu." Dengan lembut, Fanzo mengelus rambut Arbela setelah menyelesaikan kalimatnya.
Mata Arbela nampak berkaca-kaca. Pertahanannya runtuh berkali-kali jika sudah ditenangkan oleh Fanzo. Ia bangkit dan berdiri di hadapan Fanzo, lalu tanpa basa-basi langsung memeluk erat tubuh sang kekasih.
Dengan hangat, Fanzo menyambut pelukan gadisnya, ia mengelus lembut punggung Arbela. "Ada aku, sayang. Jangan pernah merasa sendiri, ya? Cari aku, sayang, cari aku. Aku akan selalu datang untuk kamu," bisik Fanzo mencoba menenangkan Arbela.
"Kamu gak harus tanggung ini sendirian," lanjut Fanzo. "Kita bisa lewatin semua ini bersama. Mungkin gak banyak yang bisa aku lakukan, tapi aku janji aku selalu ada buat kamu."
"Terima kasih, cinta," ujar Arbela dalam sela isak tangisnya.
❤️❤️❤️
Thank you and see you next part!
Tangerang, 4 November 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia Yang Mencintaiku
Short Story[ Follow dulu sebelum membaca guys! ] Arbela memiliki emosi yang tak pernah stabil, rasa egois yang tinggi, dan ia selalu melampiaskannya kepada sang kekasih akan tetapi sang kekasih selalu ingin bersamanya, tetap ingin bersama Arbela. Seburuk apapu...