Cahaya matahari menerobos masuk di balik tirai jendela yang melambai-lambai. Zahira seolah dibangunkan oleh panasnya terik hingga membuatnya membuka mata perlahan. Terpaksa Zahira bangun dari posisinya yang telentang, kemudian menoleh ke samping kanan.
"Hamizan?" gumamnya mendapati tidak ada siapapun di sebelahnya.
Zahira mengamati setiap sudut kamar, begitu rapi dan harum. Dia yakin Hamizan yang memasang pengharum ruangan yang ada di nakas dekat lemari pakaian. Juga beberapa buku yang sudah berjejer sesuai kategori yang ada pada meja sudut ruangan ini. Sepertinya meja di sudut ruangan itu akan menjadi tempat favorit Hamizan untuk menghabiskan waktunya dengan membaca.
Zahira turun dari ranjang. Dress panjang yang ia kenakan sedikit menyapu lantai. Rambutnya yang melewati bahu terburai begitu saja. Angin pagi bertiup lewat jendela dan menyapu rambut Zahira. Membuatnya menari-nari.
Jendela kamar mengarah ke pekarangan belakang rumah. Ada kolam kecil berisi ikan koi, bunga mawar merah yang berbaris menyuguhkan kelopak merona di pinggir kolam, serta beberapa tanaman sayur di polybag yang sudah menghasilkan cabai rawit, tomat, terong, dan kemangi.
"Dia suka berkebun atau gimana sih?"
Ada banyak pertanyaan yang ingin Zahira ajukan pada Hamizan. Dia banyak berkontribusi dalam pernikahan. Mulai dari rumah baru yang pembangunannya tidak Zahira ketahui. Pun dengan kedatangannya ke rumah ini yang sudah direncanakan.
Hamizan meminta ibu mertuanya untuk mengemas barang Zahira tanpa sepengetahuan sang pemilik barang dan membawanya diam-diam ke rumah baru mereka.
Seniat itukah Hamizan menikahinya? Pikir Zahira sekelebat mengingat dia dan Hamizan bukanlah dua orang yang asalnya saling mencintai lalu menikah.
Zahira keluar kamar mengecek kamar mandi, tapi Hamizan tidak ada. Hingga suara dentingan wajan yang beradu dengan spatula membuat Zahira melengos dan bergegas ke dapur. Ia berjalan cepat dengan senyum semringah secerah matahari yang tak malu menunjukkan diri.
Derap kaki Zahira terdengar oleh Hamizan. Dengan tangan yang masih memegang wajan dan spatula, Hamizan menoleh sebentar dan segera fokus ke masakannya.
Hamizan menggeleng pelan. Mengenyahkan pikirannya yang mulai berkelana. Berusaha menyadarkan diri kalau Zahira sudah sah secara agama dan hukum sebagai istrinya. Dia hanya belum terbiasa melihat perempuan lain berkeliaran seruangan, bahkan serumah dengannya.
Perlahan kaki Zahira mendekat ke pantry, mengambil gelas bening berukuran sedang dan menuangkan air putih dari teko yang ada di meja makan kedalamnya.
"Sarapan, yuk!" Hamizan mematikan kompor lantas menuangkan omelet buatannya ke piring.
"Seharusnya aku yang masak." Nada bicara Zahira menyiratkan kekecewaan. Sontak Hamizan balik badan dan berucap, "Mulai sekarang kamu harus terbiasa kalau aku yang masak."
Hamizan membawa dua piring berisi omelet ke meja makan. Menghadirkannya di depan Zahira dan ikut duduk di sampingnya. Dia juga mengambil garpu, mengarahkannya ke Zahira seraya tersenyum. "Silakan dicoba."
Zahira langsung menyahut garpu tersebut. Memotong omelet dan mencicipinya. Binar mata Zahira mengekspresikan kepuasan bahkan sebelum ada komentar apapaun tentang masakan Hamizan.
"Aku tahu kamu akan suka." Hamizan tersenyum lebar. Berbangga diri atas usahanya di hari pertama mereka tinggal bersama.
"Kamu suka masak sejak kapan?"
Omelet yang Hamizan sajikan sangat lezat. Bahannya dari campuran telur, kol, sosis, tauge, daun bawang, tepung beras, tepung tapioka yang diaduk ditambah seasoning kaldu ayam bubuk, bubuk kunyit, merica dan kecap asin. Digoreng dengan mentega membuat rasanya semakin gurih serta saus tomat sebagai pelengkap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh Role Model
EspiritualHamizan Zayd bisa menjadi Yusuf yang menawan bagi setiap hawa, bisa menjadi Ali bin Abi Thalib yang pandai dalam keilmuan, atau menjadi Muhammad Al Fatih yang menyebarluaskan Islam tanpa mengorbankan tetesan darah mana pun. Hidupnya sempurna, nyaris...