7

8 1 0
                                    

Silan memilih diam saat Nahumaruy berjalan di sisinya. Jika pria itu bisa berjalan di atas air. Mengapa sebelumnya, dia repot-repot berenang ke dalam lautan? Silan bisa saja berkata pada Nahumaruy kalau ia pun bisa melakukan hal sederhana seperti ini. Ia telah menghabiskan waktu pelatihan militer laut bersama Oma Sisil berjam-jam dengan air mata frustasi semasa kanak-kanak.

Lagi pula, tubuh Nahumaruy tidak berbau ikan asin seperti yang digosipkan anak-anak. Wangi tubuhnya lebih dominan air laut yang bercampur rempah-rempah seperti pala ketika Silan berada di sisinya.

Saat Nahumaruy melangkah masuk ke dalam kapalnya. Dia mencoba mengulurkan tangan untuk membantu Silan, tetapi buru-buru menariknya ketika Silan bisa naik ke atas kapal tanpa bantuan.

"Aku hanya bisa menawarkan, silakan pilih tempat yang nyaman di kapal reyot ini. Hanya ini peninggalan berharga orang tuaku. Jadi, boleh aku buka bungkusan ini?" kata Nahumaruy yang mengambil tempat dengan duduk bersila di atas jaring ikan.

Silan hanya mengangguk, membiarkan Nahumaruy membuka dan melihat buku yang tidak dipesannya. Judulnya Prahara Di Alam Debata. Bukunya bersampul putih dengan font biru yang dicetak besar secara polos di depan.

"Ah, masalah para Debata." Nahumaruy bergumam. Dia hanya melihatnya sekilas dan kembali menatap Silan. "Aku masih belum menemukan jawaban mengapa buku ini ditunjukkan padaku. Tapi, anggaplah seseorang menunjuk untuk diriku. Jadi ...,"

Mata hitam Nahumaruy berkilat pada Silan. "Menurut mitos, Raja Laut, roh laut atau makhluk sihir tinggal di perairan dalam sekitar Banda Naira. Masyarakat percaya bahwa mereka adalah penjaga laut yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan alam. Bagaimana menurut, Nona?"

"Aku pernah membaca kisah ini," sahut Silan mencoba mengingat buku yang pernah dibaca.

"Terkait hal tersebut. Muncul tradisi untuk menghormati kekuatan sumber daya laut."

Silan ingin menyela bahwa hal seperti ini adalah hal yang lumrah terjadi di kepercayaan kepulauan Kemaharajaan Maluku, namun membiarkan lawan bicara bercerita adalah bentuk menghormati pembicara.

"Papaito," ungkap Nahumaruy, "atau ritual laut. Dewa Dewi Banda mendapatkan Papaito melalui persembahan dengan Karaso."

Mendengar nama Karaso, tanpa sadar Silan mengumamkan kata Sirih Laut. Binar mata Nahumaruy pun bereaksi.

"Kudengar Karaso menghilang dan penghubung antar Papaito dan Debata Banda terputus. Makhluk laut berbahagia dan memiliki kehendak bebas berulah tanpa takut diawasi. Entahlah, aku hanya mendengar gosip ini dari para nelayan. Saat aku tertidur, roh laut akan membuat kapal ini terombang-ambing sementara perairan di sekitarnya sedang tenang. Aku pernah ditawarkan satu kecupan oleh roh air, di sini."

Nahumaruy menunjuk bibir bawahnya yang kering dan Silan hanya tersenyum kaku.

"Cerita menarik," ujar Silan sebagai bentuk apresiasi. "Bisa kau jelaskan lagi lebih spesifik ciri-ciri roh laut?"

"Hanya makhluk serupa manusia yang tubuhnya tembus pandang dengan kilau biru, bergerak ke sana kemari begitu ringan. Beberapa makhluk bisa memiliki wujud fisik utuh, berenang dengan tubuh separuh ikan, cumi-cumi, gurita-"

"Ya, aku rasa cukup." Silan memotong cepat. "Maksudku kisah-kisah itu. Roh laut ada yang jahat dan baik. Beberapa bisa menjadi kawan atau musuh."

"Kau terdengar berpengalaman tentang itu. Apa kisah pendek itu cukup?"

Silan tidak tahu, tetapi dia mengganguk. Mata cokelatnya tanpa sadar melirik ke arah laut lepas. Di sana, sampan lusuh Dali sedang mengawasinya langsung. Nahumaruy pun mengikuti arah tatapan Silan dan tersenyum tipis.

SeativalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang