8

10 1 0
                                    

"Sebenarnya apa yang dicari Dali?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja. Silan kian penasaran tentang hubungan Dali dan Laut Purba Nusantara. Tubuhnya mendadak merinding, sekelebat dia bisa mendengar nyanyian laut di antara suara ombak.

"Cobalah bertanya langsung pada orangnya."

Silan tersenyum getir. Dia bimbang, jika Silan kembali tanpa membawa apa pun. Dali pasti akan meremehkan tekadnya yang sebelumnya. Silan awalnya merasa beruntung, bahwa Said tidak mengumbar-umbar identitas mereka. Nahumaruy mungkin mengenal Said sebagai pesuruh Dali, tetapi tidak dengan latar belakangnya.

"Yang Terhormat butuh Dewi. Aku bisa membawanya. Tapi berjanjilah padaku bahwa ini hanya kita yang mengetahuinya."

Jantung Silan berdetak lebih cepat. Dia mengatur napas berulang kali sembari mengatur tatapan lurus ke mata hitam Nahumaruy. Dia hanya bertukar sentuhan bibir, sentuhan bibir untuk sebuah kutukan buku. Sejujurnya, Silan suka kutukan buku, tetapi tidak sebagai tawanan seorang pemilik toko buku.

"Aku keturunan seorang Dewi."

Mata Nahumaruy melebar karena terkejut, kemudian dia tertawa. "Nona, tidak perlu berpura-pura."

Ombak dari arah belakang menghujani kepala Nahumaruy. Itu tindakan kejutan. Tetapi, Nahumaruy tidak percaya. "Penyihir laut."

Emosi Silan naik. Dia sudah menyiapkan diri atas rahasia tersebut, sebaliknya Nahumaruy malah menganggapnya berbohong.

"Baiklah. Yang Terhormat ingin pembuktian apa agar percaya?"

"Bawa gadis setengah dewi padaku, Nona. Gadis yang bisa mendengar lautan bernyanyi dan ombak yang berbisik-bisik bahasa kuno dan terhubung dengan dunia roh."

Itu aku. Silan ingin mengatakan hal tersebut dengan berteriak kencang di telinga Nahumaruy. Dia butuh waktu memikirkan ide lain. Nahumaruy tidak menunggu jawaban Silan. Dia mulai sibuk merajut jaring ikan seperti bocah nelayan. Berbeda jauh dengan kepribadiannya sebagai Debata Agung.

...

Dali tidak mengatakan apa pun begitu melihat Silan kembali ke Taring Laut dengan wajah lesu dan bahu merosot. Perjalanan mengantar paket berlanjut di alamat kedua.

Silan berjalan menuju geladak utama yang berada di atas ruang kemudi. Ada empat kamar, salah satu pintunya memiliki stiker nama Said berwarna hitam. Silan menggeser pintu kayu tersebut dan menemukan kamar tersebut cukup rapi. Selain nakas yang penuh buku bersampul cokelat. Ada tempat tidur yang menempel di dinding dan lemari kayu.

Silan pun merebahkan diri di atas kasur. Kemudian mengangkat kepala saat pintu kamar digeser oleh kepala Noak dan menutup oleh hentakkan ekornya yang panjang. Noak langsung menjatuhkan diri dalam pelukan Silan seperti seorang anak burung merindukan induknya. Naga itu, selalu muncul dan pergi tanpa pamit.

"Kau tahu Noak, masalahnya makin rumit. Dewi sinting mana yang mau diajak pergi demi mencium Dewa terbuang?"

Noak hanya merespon dengan tawa serak di atas dada Silan. Silan memejamkan matanya, dia tidak bisa tertidur. Kesadarannya terjaga, telinganya bekerja lebih keras menangkap suara-suara di luar kabin. Kemudian, tanpa Silan sadari. Dia terlelap dengan Noak yang mendekur di atas perutnya.

Keduanya terbangun oleh ketukan di depan pintu kamar. Silan bangun dari kasur, melirik jendela untuk melihat bayangan matahari yang menunjukkan bahwa hari beranjak sore. Tetapi masih cukup terik.

Silan kembali mengenakan ransel. Tetapi, tatapan matanya tertuju pada buku di atas nakas. Seharusnya, Silan mendengar bisik-bisik roh buku dari sana. Penasaran, dia mengambil satu buku dan membuka lembarannya yang ternyata kosong. Kemudian, selembar kertas jatuh ke lantai.

SeativalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang