1. Usang

10 5 0
                                    


Di tengah ruangan yang dingin, seorang gadis berambut merah keriting muncul mengenakan kimono mini berwarna cerah. Dengan langkah percaya diri, dia tampak tidak terpengaruh oleh hawa dingin yang menyusup.

Pesonanya terpancar lewat senyumnya yang ceria dan matanya yang berkilau penuh rasa ingin tahu. Kimono yang melambai lembut mengikuti gerak tubuhnya, menciptakan gambaran elegan namun kuat, seakan menantang dunia di sekelilingnya.

Di tengah malam, ketika semua orang sudah tertidur, Lyne masih terjaga. Dengan langkah hati-hati, dia mengendap-endap menuju ruangan gudang.

Gudang itu dipenuhi debu dan gelap gulita, namun keadaan itu tidak memadamkan semangat Lyne. Dengan riang, dia berjalan menuju piano tua yang sudah usang. Dengan penuh kasih sayang, Lyne membersihkan piano itu dengan lembut.

Setelah selesai, senyum ceria menghiasi wajahnya saat melihat piano itu kini tampak bersih.

Lyne duduk di bangku tua di depannya. Jari-jarinya dengan lembut menyentuh tuts piano yang terasa dingin.

Perlahan, dia mulai memainkan sebuah melodi sederhana yang mengalir dengan syahdu, seolah membawa ketenangan di tengah keheningan malam.

Suara piano yang lembut memenuhi ruangan, sementara Lyne bersenandung pelan mengikuti irama. Tidak ada yang terburu-buru dalam gerakannya, semuanya mengalir alami. Meski biasanya penuh canda dan kegaduhan, saat ini Lyne tenggelam dalam dunianya sendiri—dunia yang sunyi dan damai.

Setiap tuts yang ditekan terasa seperti melepaskan beban yang tidak kasatmata, dan dalam momen itu, Lyne menikmati kedamaian yang jarang ia temukan di siang hari.

Setelah beberapa menit bersenandung dengan lembut, Lyne memutuskan untuk menantang dirinya sendiri. Jari-jarinya berhenti sejenak di atas tuts, lalu perlahan mulai mengganti melodi sederhana tadi dengan sesuatu yang jauh lebih sulit—"La Campanella."

Nada-nada pertama terdengar, dan seketika suasana berubah. Melodi cepat dan loncatan nada yang besar membuat Lyne harus ekstra fokus. Meski biasanya penuh tawa dan kejenakaan, kali ini wajahnya serius. Dia mencoba tenang, menenangkan diri agar bisa memainkan komposisi legendaris itu dengan baik.

Tapi di balik setiap tekanan tuts, ada rasa tegang yang sedikit terselip. Sesekali, Lyne menarik napas panjang, berusaha menjaga ritme dan kontrol jari-jarinya. Nada-nada tinggi yang melompat cepat antara satu tuts ke tuts lainnya menantangnya, tetapi Lyne tidak menyerah.

Meski beberapa kali hampir tergelincir dari ritme, dia terus memainkan piano dengan tekad yang kuat.

Tangannya bergerak dengan cekatan, dan meskipun bukan versi sempurna, alunan "La Campanella" tetap mengalir di ruangan itu, menunjukkan bahwa Lyne bisa juga serius ketika dibutuhkan.

Namun, di tengah-tengah permainan, nada yang dimainkan Lyne sedikit tergelincir. Satu nada meleset, membuat alunan "La Campanella" terdengar sedikit timpang. Lyne mengerutkan kening, tak puas dengan kesalahan kecil itu.

Tanpa ragu, dia berhenti sejenak. Napasnya sedikit tersengal, tetapi tekadnya semakin besar. Tidak mau ada yang kurang, Lyne kembali ke awal.

Jari-jarinya kembali menyentuh tuts dengan perlahan, mencoba menemukan ritme yang tepat.

"Fokus, fokus," gumamnya pada diri sendiri.
Tangannya bergerak cepat lagi, namun kesalahan lain muncul di bagian yang sama. Alih-alih frustasi, Lyne tertawa kecil, lalu mulai mengulang lagi. Setiap kesalahan bukan halangan, melainkan tantangan baginya.

Dia terus mengulang, memaksa dirinya menyempurnakan setiap nada. Seakan piano itu menguji kesabarannya, namun Lyne tidak mau menyerah. Baginya, tidak ada yang namanya "Cukup baik"—semua harus sempurna.

Dia akan terus bermain sampai alunan "La Campanella" mengalir tanpa cacat, meski harus mengulang seribu kali.

Seakan lupa akan waktu, Lyne terus memainkan piano tanpa henti, mengulang lagi dan lagi. Dia belum berhasil mendapatkan alunan yang sempurna, namun tekadnya tidak surut. Setiap kesalahan kecil membuatnya semakin terobsesi, meskipun tubuhnya mulai protes.

Jari-jarinya yang sudah terlalu lama menekan tuts piano kini mulai terasa kaku. Tendon di pergelangan tangannya mulai terasa nyeri, namun Lyne tidak berhenti. Dia terus menekan tuts dengan penuh semangat, meski setiap gerakan mulai terasa berat. Pergelangan tangannya berdenyut, dan rasa ngilu mulai menjalar.

Lehernya juga mulai terasa kaku, seperti ada simpul yang menegang karena posisinya yang terlalu lama menunduk. Dia merasa nyeri, namun mengabaikannya.

Bagi Lyne, kesempurnaan permainan piano ini jauh lebih penting daripada rasa sakit yang mulai merayap di tubuhnya.

Namun, semakin dia memaksakan diri, semakin sulit melawan rasa sakit itu. Jari-jarinya gemetar sedikit saat menekan tuts, dan nada yang keluar pun mulai terdengar goyah. Tapi meski tubuhnya lelah, Lyne belum mau menyerah.

Baginya, ini bukan hanya soal bermain piano—ini soal membuktikan bahwa dia bisa, meski harus menanggung rasa sakit.

Rasa sakit mulai menjalar lebih kuat ke pergelangan tangannya, tetapi bagi Lyne, itu bukan hal besar. Seakan menolak mendengarkan sinyal tubuhnya, dia terus memainkan piano.

Setiap nada yang meleset membuatnya semakin bertekad untuk mengulang dari awal. Semakin lama, jari-jarinya mulai terasa kaku, dan perlahan-lahan keram menyusup ke tangannya.

Saat akhirnya tangannya berhenti merespons dengan sempurna, Lyne merasa sakitnya mencapai puncak. Pergelangan tangannya terasa nyeri, otot-ototnya tegang dan jari-jarinya tak bisa digerakkan dengan bebas lagi. Namun, bukannya berhenti, Lyne dengan sengaja menggoyangkan tangannya, berharap keram itu akan hilang dengan gerakan kasar.

Erangan tertahan lolos dari mulutnya. Rasa sakit yang kini tak tertahankan akhirnya muncul, tapi Lyne tak peduli. Matanya masih tertuju pada tuts piano, dan meskipun tubuhnya menolak, pikirannya masih keras kepala ingin menyelesaikan komposisi itu.

Rasa sakit seolah jadi latar belakang bagi setiap gerakan jari-jarinya yang semakin pelan. Erangan kecil kembali terdengar, tapi bagi Lyne, rasa sakit ini hanya hambatan kecil. Tidak ada yang bisa menghentikannya.

Akhirnya, tangannya benar-benar berhenti merespons. Rasa keram yang semakin parah membuat jarinya tak bisa bergerak lagi. Meski pikirannya masih ingin terus maju, tubuhnya sudah mencapai batas. Rasa sakit itu begitu kuat, namun alih-alih marah atau frustrasi, Lyne tiba-tiba berhenti.

Dia duduk diam sejenak, menatap jari-jarinya yang tak lagi bisa menekan tuts piano. Lalu, tanpa peringatan, dia tertawa. Bukan sekadar senyum kecil, tapi tawa terbahak-bahak yang memenuhi ruangan. Gelak tawanya menggema, membaur dengan kesunyian malam.

"Ah, gila!" Lyne tertawa sambil memegangi pergelangan tangannya yang nyeri. Tubuhnya yang sudah lelah dan jari-jarinya yang keram seolah tak berarti lagi di hadapan tawa kerasnya. Rasa sakit itu tiba-tiba jadi lelucon baginya—seakan tubuhnya yang protes adalah hal yang konyol.

Dia terus tertawa, matanya berair sedikit karena kelelahan. Namun, ada sesuatu yang membebaskan dalam tawanya. Seperti semua beban kesempurnaan yang dikejarnya mendadak tak penting lagi. Meskipun tangannya menolak, semangat Lyne tetap tak terkalahkan.

_____________________________________________________

_____________________________________________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gudang Lyne ~

Silent Note Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang