3. Kastil

1 0 0
                                    


Pagi itu, aroma roti panggang yang baru keluar dari oven memenuhi seluruh ruangan, menyentuh indra penciuman Lyne dengan lembut.

Hari ini adalah hari pertamanya masuk magang, tapi suasana di meja makan keluarga terasa jauh dari hangat. Hanya terdengar suara detingan pisau dan garpu yang bersentuhan dengan piring, menambah kesan hening yang kaku. Biasanya, papa selalu menyapanya dengan ucapan selamat pagi. Namun kali ini, papa-nya hanya diam, meski Lyne bisa merasakan hawa dingin yang menyelimuti keheningan tersebut. Wajah papa-nya tenang, tapi sorot matanya penuh dengan ketidakpuasan.

"Papa tidak suka sama orang yang keras kepala seperti kamu, pembangkang. Besok-besok kamu buat masalah apa lagi?" Ujar Andreas Wijanarko Sforza dengan nada dingin dan sinis, suaranya memecah kesunyian.

Lyne tidak menjawab, hanya melanjutkan makannya dengan tenang, menikmati roti isi keju yang empuk di tangannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk merespons omelan papa-nya.

Baginya, semua itu hanya angin lalu, kata-kata yang tidak perlu ia pikirkan terlalu dalam.

"Lyne, kamu dengar?" Kali ini suara papa-nya naik sedikit, menyiratkan ketidaksabaran.

"Ya," jawab Lyne singkat, tanpa usaha untuk memperpanjang percakapan ini.

Pikirannya sudah melayang ke hal yang lebih menarik: hari ini dia akan bertemu dengan teman kecilnya, Raven. Tidak sabar rasanya untuk bertemu dan menggodanya-Raven, si 'homo', begitu dia sering menyebutnya dengan bercanda.

Pikiran itu membuat Lyne tersenyum sendiri, bahkan terkikik kecil, membayangkan reaksi Raven saat dia nanti mulai mengganggunya.

Papa-nya hanya memandangnya dengan datar, tidak lagi terkejut melihat putrinya yang selalu cuek. Sudah terlalu sering hal ini terjadi. Teguran atau kata-kata keras tidak pernah benar-benar masuk ke hati Lyne. Baginya, itu semua hanya angin yang berhembus-tidak akan mempengaruhi langkahnya sama sekali.

"Kalo kamu buat masalah lagi di perusahaan Raven, awas saja. Papa akan hukum kamu," ancam papa-nya, kali ini nadanya lebih serius.

Namun, ancaman itu tidak membuat Lyne gentar. Ia hanya mengangkat bahu dengan santai, seolah tidak peduli sedikit pun.

Dengan tenang, ia kembali menyantap makanannya, tak ingin mood-nya rusak di hari yang sudah ia tunggu-tunggu. Apa pun yang papa-nya katakan, baginya, hari ini hanya tentang satu hal-bersenang-senang dengan Raven, terlepas dari apa pun yang terjadi di meja makan ini.

Sekarang, Lyne Aishlynne Sforza berdiri di depan gedung megah Raven Arct, merasakan detak jantungnya bergetar penuh semangat.

Hari pertama magangnya dan ia sudah siap untuk mencuri perhatian. Dengan balutan dress mini hijau menyala yang berkilauan, dipadukan dengan stoking dan boots coklat yang edgy, ia tahu dirinya adalah pusat perhatian. Topi besar di kepalanya menambah kesan dramatis yang semakin memperkuat kepercayaan dirinya.

Senyum menyeringai di wajahnya seakan berkata, "Aku datang!"

Lyne melangkah masuk ke dalam resepsionis tanpa basa-basi, langsung menyodorkan kartu VIP yang membuatnya bebas keluar masuk perusahaan ini. Penjaga resepsionis menatapnya sejenak, lalu memberi jalan tanpa bertanya lebih jauh.

Di dalam lift, Lyne menekan tombol dengan penuh semangat, tak sabar untuk mencapai lantai tempat Raven bekerja. Begitu pintu lift terbuka, Lyne tidak bisa menahan diri untuk berteriak, "RAVENNN HOMOO!" Suaranya menggema di lorong, membuat beberapa orang menoleh dengan tatapan aneh.

Sesampainya di depan ruang kerja Raven, Lyne dengan ceria menendang pintu kaca, merasakan sakit di kakinya. Ia meringis sejenak, tapi tawa itu segera menguasi. Raven, yang sedang duduk di depan laptop dengan wajah serius, hanya mengalihkan pandangan dan menggeram, "Bisa gak lo jangan panggil gue homo? Gimana kalo orang lain mengira itu beneran?"

Silent Note Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang