4. Sebuah Sonata

0 0 0
                                    


Ketika Lyne pulang menuju pintu dapur dari gudang, suasana di dalam kastil terasa tegang. Ia merasakan ada yang berbeda, seolah-olah ada angin buruk yang berhembus di antara dinding-dinding elegan itu. Ketika ia melangkah ke ruang tamu, matanya langsung tertuju pada sosok papanya, Andreas Wijanarko Sforza, yang duduk dengan ekspresi serius.

Sebuah perasaan tidak nyaman menyelimuti Lyne saat ia menyadari bahwa papanya sepertinya sudah menunggu kedatangannya dengan penuh ketegangan.

"Apa saja yang kamu lakukan di perusahaan Raven?" suara Andreas menggema di ruangan, penuh dengan nada tinggi yang membuat jantung Lyne berdegup kencang. Tatapan tajamnya seolah ingin menembus jiwanya, membuatnya merasa terpojok.

"Bekerja," jawab Lyne santai, berusaha menampilkan sikap cuek sambil mengangkat kaki, seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Namun, dalam hatinya, ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan berakhir baik.

Tiba-tiba, Andreas berdiri dengan cepat dan menampar pipi Lyne dengan keras. Rasa sakit menjalar dari bekas tamparan itu, dan tubuhnya terhuyung ke samping. Kaget dan bingung, Lyne mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Air mata mulai mengalir di pipinya, tak percaya bahwa papanya—sosok yang seharusnya melindunginya—telah melakukan kekerasan terhadapnya.

"Kamu dasar anak pembangkang, pengacau!" teriak Andreas, suaranya penuh dengan kemarahan yang mendidih. "Saya dari kemarin sudah menahan kesabaran terhadap kamu, Lyne. Kamu tahu? Malam itu semua orang menatap saya aneh karena seorang putri yang tiba-tiba kabur entah ke mana, dan sekarang? Kamu mengacau di perusahaan Raven?"

Mendengar semua cacian itu, Lyne hanya mengusap air mata yang mengalir, berusaha mempertahankan ketenangannya. Ia berdiri tegak, seolah ekspresi hatinya tidak terpengaruh oleh kata-kata tajam yang meluncur dari mulut papanya.

Ketika ia berbalik untuk meninggalkan ruang tamu, ingin menghindari konfrontasi lebih lanjut, tiba-tiba tangan Lyne diseret kasar oleh Andreas. "Sudah cukup! Kamu tidak pernah mendengar omongan papa, Lyne. Kamu selalu berbuat seenaknya. Kamu harus dihukum."

Andreas menyeretnya dengan brutal ke arah gudang, tempat yang selama bertahun-tahun menjadi pelarian Lyne dari semua masalah dan tekanan. Begitu sampai di depan pintu, Andreas mengunci pintu itu dari luar dengan suara ‘klik’ yang nyaring, meninggalkan Lyne terkurung di dalam.

Lyne terbahak-bahak, merasakan ironi dari situasi yang dihadapinya. Dia mengantongi kunci cadangan yang dia simpan untuk keadaan darurat, dan merasa sangat cerdas. Bodoh si Andreas Wijanarko Sforza, sangat bodoh.

Bahkan dalam keadaan terkurung, hati Lyne terasa ringan. Seolah-olah dirinya telah dibebaskan dari segala belenggu. “Ah, kalau dia ingin menghukumku, biar saja,” pikirnya, sambil tersenyum penuh kebebasan.

Dengan semangat baru, Lyne menghampiri piano usang yang telah menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya.

Dia menyentuh tuts dengan lembut, tapi kali ini, nada-nada yang keluar berlari lebih cepat, seolah-olah ia sedang bercerita lewat alunan musik. Setiap tuts yang ditekan menciptakan melodi yang penuh emosi, menggambarkan rasa sakit, kebebasan, dan segala kerinduan yang terpendam di dalam hatinya.

Dia bermain seolah-olah piano itu adalah jiwanya, menyalurkan semua perasaannya ke dalam musik yang mengalun, menjadikan gudang ini sebagai tempat perlindungan dan pelarian yang sebenarnya.

Ketenangan malam berbaur dengan melodi yang mengalun dari piano, menciptakan suasana yang seolah memanggil jiwa-jiwa yang terperangkap dalam kesunyian.

Setiap not yang dimainkan oleh jari-jemari Lyne adalah ungkapan batin, sebuah sonata yang menggambarkan perjalanan emosionalnya. Suara lembut dari tuts putih dan hitam bagaikan jembatan yang menghubungkan antara kesedihan dan kebebasan, menyalurkan rasa sakitnya menjadi harmoni yang menyentuh.

Silent Note Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang