Jangan lupa vote, komen dan follow dulu sebelum baca.
Vano sedang berkumpul bersama teman-temannya di rooftop sekolah, sebuah kebiasaan yang sudah menjadi tradisi setiap kali jam matematika tiba. Mereka lebih memilih untuk membolos daripada harus menghadapi Ibu Adita, si guru killer.
Lingkaran pertemanan mereka tidak besar, hanya terdiri dari Vano, Darrel, Mahen, dan Alva.
"Lo beneran putus sama Jennie, Van?" Darrel memecah keheningan, melirik ke arah Vano yang sibuk dengan game Mobile Legends di ponselnya.
Vano hanya berdehem singkat, fokusnya masih pada permainan yang sedang berlangsung.
"Alasan lo apa mutusin dia?" Darrel kembali bertanya dengan nada penasaran.
Vano mendesah pelan sebelum menjawab, "Gak ada alasan khusus. Dari awal gue cuma main-main sama Jennie. Gue udah janji sama diri sendiri, kalo udah enam bulan pacaran, gue bakal mutusin dia."
Mahen, yang sedari tadi diam, mengangkat alis, kaget mendengar jawaban Vano. "Lo gila, Van. Gue tau lo buaya, tapi nggak gini juga. Kalo Jennie beneran naksir lo gimana? Lo nggak mikirin perasaan dia?"
"Apasih? Kok malah jadi nyalahin gue?" Vano mulai merasa terganggu dengan arah pembicaraan. "Kalau dia beneran naksir, ya udah, itu salah dia. Dia tahu gue cuma main-main, kenapa harus baper?"
Darrel menggeleng pelan, tidak percaya. "Gue bukan nyalahin lo, gue cuma mikirin perasaan Jennie. Lo nggak mikirin gimana perasaan dia setelah lo tinggalin gitu aja?"
Vano hanya mengangkat bahu. "Dia pasti baik-baik aja kok tanpa gue, gue udah kenal Jennie."
Alva yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. "Lo sendiri beneran nggak ada perasaan sama Jennie?"
Vano mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dan menatap Alva dengan tatapan datar. "Gue nggak tahu," jawabnya singkat.
Mahen melirik Alva dan Darrel, lalu menggelengkan kepalanya. "Udah ketebak sih, lo tuh denial, Van. Lo nggak mungkin nggak punya perasaan sama Jennie, gue itu merhatiin gerak gerik lo kalo lagi sama Jennie."
Vano mendengus, meletakkan ponselnya dengan kasar. "Kalian malah bikin gue tambah pusing."
"Eh, santai dulu. Kita cuma nggak pengen lo nyakitin siapa-siapa, apalagi diri lo sendiri juga, bro."
Vano berdiri, matanya menatap tajam ke arah Darrel. "Gue nggak nyakitin siapa-siapa dan gue sendiri juga ga sakit."
"Lo beneran mau ninggalin Jennie tanpa mikir dua kali?" Mahen bertanya dengan nada lebih serius. "Lo nggak takut kalo suatu saat nanti, lo malah nyesel?"
"Udahlah, gue mau pergi aja. Nggak ada gunanya kita ngomongin hal kayak gini." Vano melangkahkan kakinya menjauhi teman-temannya.
"SENSITIF AMAT LO VAN, DI TANYA GITU DOANG NGAMBEK." Teriak Darrel sambil tertawa.
Vano hanya menoleh sekilas, tidak menghentikan langkah kakinya.
"SEMOGA LO GA NYESEL YA VAN." Teriak Alva menambahkan.
Vano memilih tidak memperdulikan teman-temannya, dia meraih gagang pintu lalu turun melalui tangga.
"Lebih baik gue tidur di UKS daripada ketemu mereka, malah bikin gue tambah stress," gumam Vano pada dirinya sendiri.
•••
Entah hari ini hari yang sial bagi Vano atau bagaimana, setibanya di UKS, dia di kejutkan oleh Jennie yang sedang berbaring di brankar UKS, perempuan berpipi chubby itu terlihat kesakitan sembari memegang perutnya.
Vano ingin membalikkan badannya lagi lalu pergi dari UKS, tapi dia terlalu malu untuk melakukan hal itu.
Akhirnya Vano memutuskan untuk melangkahkan kakinya masuk ke dalam UKS berjalan mendekati Jennie.
Sama halnya dengan Vano, Jennie juga terkejut melihat Vano muncul dari balik pintu. Ada urusan apa laki-laki itu kesini, pikirnya.
"Kenapa Jen? lo sakit?" Tanya Vano.
"I-iya" Jawab Jennie gugup, sial sekali di UKS hanya ada mereka berdua.
"Sakit apa?"
"Cuma nyeri haid."
Vano hanya ber-oh ria saja, dia baru ingat memang hari ini jadwal bulanan gadis itu.
"Udah minum obat?" Tanya Vano.
"Udah tadi."
"Lo disini sendirian?"
"Engga, tadi sama Lisa tapi dia lagi ambil tas gue, gue mau pulang." Ujar Jennie.
"Sama siapa pulangnya?"
"Di anter satpam."
"Loh, nggak ada yang jemput?"
"Enggak, papa sama mama lagi sibuk."
Clek
Pintu terbuka, menampilkan presensi Lisa yang terlihat terengah-engah karena berlari dari kelas. "Jen ini tas l--"
Omongan Lisa terhenti karena melihat Vano disamping brankar Jennie.
"Heh lo cowok brengsek, ngapain lo disini?!" Lisa berjalan mendekat lalu mendorong Vano menjauh.
"Sini tasnya Jennie, biar gue anter pulang." Bukannya menjawab pertanyaan Lisa, Vano melontarkan kata-kata yang membuat Lisa kesal.
"Gue gak izinin lo anterin sahabat gue, nanti lo sakitin dia lagi." Ujar Lisa.
"Gue juga nggak mau dianter Vano pulang." Jennie menyambar.
"Tuh, lo denger sendiri 'kan, Jennie ogah lo anter pulang." Ucap Lisa.
"Biar gue anterin pulang Jen, papa sama mama lagi nggak ada di rumah 'kan, nanti yang jagain lo siapa?" Ujar Vano.
"Gue bisa di rumah sendiri." Ujar Jennie.
Vano menghela nafas pelan, tentu saja dia tidak bisa membiarkan Jennie dirumah sendirian dalam keadaan seperti ini.
"Gue tau lo bisa jaga diri, tapi sekarang lo lagi sakit kayak gini. Gue bisa anterin sama jagain lo biar aman."
Perasaan Jennie menjadi campur aduk, omongan Vano ada benarnya juga, selama ini dia memang bisa dikatakan manja, tidak terbiasa sendiri saat sedang sakit.
Lisa tidak bisa menemaninya karena gadis berponi itu ada ekstrakurikuler yang harus dia hadiri.
Lisa yang menyadari kebingungan Jennie, langsung angkat bicara. "Lo nggak perlu mikir dua kali, Jen. Gue bisa minta tolong orang lain biar ngejagain lo, asal ga sama Vano."
"Gue cuma mau jagain lo, mastiin lo baik-baik aja Jen, ga lebih." Ujar Vano dengan nada lembut.
Setelah berpikir lagi, dengan suara pelan akhirnya Jennie berkata, "Oke, lo boleh anterin gue pulang, tapi jangan salah paham."
Lisa hendak membantah, tapi Jennie menghentikan protessan Lisa. "Nggak apa-apa Lis, gue aman kok."
Lisa memutar bola matanya malas. "Yaudahlah Jen, yang penting lo pastiin diri lo baik-baik aja. Jangan biarin Vano nyakitin lo lagi."
Lisa menatap Vano sinis. "Awas ya kalo lo macem-macem sama Jennie!"
Vano hanya menganggukkan kepalanya membalas perkataan Lisa.