04. GENGGAMAN

195 31 9
                                    

Vano membantu Jennie turun dari brankar, tangannya memegang lengan Jennie dengan hati-hati, menuntunnya perlahan, memastikan langkah Jennie tetap seimbang.

"Kuat jalan nggak, Jen? Kalau nggak, mau gue gendong aja?" tanya Vano khawatir.

Jennie menggelengkan kepalanya. "Nggak usah, gue kuat kok," jawabnya.

Vano hanya mengangguk, memahami sifat Jennie yang keras kepala.

"Mana tas Jennie, Lis?" ujar Vano sambil mengulurkan tangannya ke arah Lisa yang sejak tadi berdiri dengan wajah kesal.

Dengan sorot mata yang sedikit tajam, Lisa menyerahkan tas Jennie kepada Vano dengan gerakan kasar. Kemudian, ia menatap Jennie dengan ekspresi cemas. "Yaudah, gue balik ke kelas dulu ya, Jen. Nanti kalau ada apa-apa langsung telepon gue aja."

Jennie mengangguk lemah, matanya yang sayu menunjukkan rasa terima kasih. "Iya, Lis. Makasih ya, udah nemenin gue."

Lisa tersenyum kecil. "Iya santai aja." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Lisa pergi meninggalkan ruang UKS, sementara Vano dan Jennie berdiri berdua dalam keheningan yang tiba-tiba terasa canggung.

Untuk menjaga keseimbangan Jennie yang mulai terlihat lemah, Vano melingkarkan satu tangannya di pinggang Jennie, mendekatkannya agar tidak terhuyung-huyung saat berjalan ke parkiran. Dalam hati, Vano bertanya-tanya, "Nyeri haid itu sesakit ini ya? Sampai muka Jennie pucat kayak gitu."

"Lo beneran nggak apa-apa nganterin gue pulang, Van? lo jadi nggak bisa ikut jam pelajaran," ujar Jennie merasa bersalah.

"Nggak papa kok, aman. Lagipula, ini kan jam Bu Adita," jawab Vano sambil tersenyum tipis, "lo tahu sendiri, gue nggak suka matematika."

Jennie menatap Vano dari jarak dekat, sekitar 30 cm. Sikap Vano yang selalu penuh perhatian membuat hatinya berdebar.

"Nggak sesuka itu ya sama matematika?" Jennie berusaha mengalihkan pikirannya, mengganti topik agar tidak terlalu terbawa perasaan.

"Iya, gue lebih baik bolos kayak gini, daripada duduk di kelas sambil bengong nggak ngerti apa-apa," ujar Vano santai, membuat Jennie sedikit tertawa kecil.

Akhirnya, mereka sampai di parkiran. Vano berhenti sejenak dan menatap Jennie. "Hari ini gue nggak bawa mobil, Jen. Lo naik motor nggak apa-apa? Atau mau gue pinjemin mobil Mahen dulu?" tanyanya dengan nada khawatir, takut membuat Jennie merasa tidak nyaman naik motor dalam kondisi seperti ini.

Jennie tersenyum kecil, meski wajahnya masih terlihat lemah. "Gue bisa kok naik motor. Nggak apa-apa, beneran."

Vano menatapnya ragu, masih khawatir. "Beneran? Lo kuat?" tanyanya sekali lagi, memastikan Jennie benar-benar yakin.

"Iya, Van," Jennie mengangguk, menegaskan jawabannya.

Vano kemudian mengambil jaket Jennie dan mengikatkannya di pinggang Jennie. "Biar selama di jalan nanti, nggak ada yang liatin paha lo. Gue juga nggak mau lo nggak nyaman," ucap Vano pelan, suaranya terdengar lembut namun penuh perhatian.

Setelah mengikatkan jaket, Vano memakaikan helm pada Jennie. Tangannya merapikan rambut Jennie yang berantakan.

Vano menatap Jennie dalam, pipi chubbynya yang biasanya kemerahan kini terlihat pucat.

"Yaudah yok, naik," ucap Vano setelah menaiki motornya.

Dengan sedikit canggung, Jennie memegang bahu Vano untuk menjaga keseimbangan saat mencoba menaiki motor Vano yang besar dan tinggi. Tubuhnya yang kecil membuatnya agak kesulitan, namun ia akhirnya berhasil duduk. "Udah, ayo jalan," katanya pelan, mengatur napasnya.

MANTANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang