Sesampainya di depan rumah Jennie, Vano terlebih dahulu turun dari motor lalu membantu Jennie yang masih lemas.
"Kuat jalan nggak, Jen? Mau gue gendong?" tawar Vano sambil menyelipkan poni Jennie ke belakang telinga gadis itu.
"Nggak usah, gue bisa jalan sendiri," ujar Jennie keras kepala.
Vano hanya menghela napas. Dia menuntun Jennie pelan-pelan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Setelah Jennie duduk di ranjangnya, Vano membantu Jennie melepas sepatu dan dasinya.
"Lo kuat ganti baju sendiri, 'kan? Gue mau bikinin teh anget buat lo dulu," ujar Vano.
Jennie hanya mengangguk lemah. Setelah melihat punggung tegap Vano yang menghilang di balik pintu, Jennie langsung mengganti seragam sekolahnya dengan baju santai. Tak lama kemudian, Vano kembali dengan secangkir teh hangat di tangannya.
Vano menaruh cangkir itu di nakas lalu duduk di samping Jennie.
"Masih sakit nggak perut lo?" tanya Vano.
Jennie menggelengkan kepalanya. "Enggak, udah mendingan."
Vano menghela napas lega. "Yaudah, bagus deh kalo gitu."
"Lo pulang aja, Van. Udah malem juga. Nggak baik kalo lo lama-lama di sini," ujar Jennie.
Vano menampilkan raut wajah tidak suka. "Lo ngusir gue? Lagipula kalo gue pulang, lo sama siapa? Bahaya kalo lo di rumah sendirian."
"Astaga, gue nggak ngusir lo. Lagipula, gue udah sering sendirian di rumah," ujar Jennie.
"Nggak, gue stay disini dulu sampe lo bener-bener tidur."
"Gila lo, pulang sana. Gue udah nyuruh Lisa ke sini. Lisa nginep, jadi lebih baik lo pulang sekarang sebelum nanti ada tetangga mikir yang enggak-enggak tentang kita," ujar Jennie tegas.
"Halah, biasanya gue juga selalu di rumah lo sampai malem."
"Itu beda, biasanya kan ada Papa sama Mama gue."
Melihat Jennie yang keras kepala dan terus mengusirnya secara terang-terangan, akhirnya Vano menghela napas dan memilih untuk mengalah.
"Yaudah, kalo gitu gue pulang sekarang. Jangan lupa teh angetnya diminum. Kalo perut lo sakit lagi, obatnya juga diminum. Makan juga jangan lupa," ujar Vano.
"Iyaaaa, sana pulang."
Vano memakai hoodienya lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Jennie.
Setelah kepergian Vano, Jennie menghela napas lega. Berada satu ruangan dengan laki-laki itu sungguh membuat dirinya tidak nyaman.
Jennie melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Masih terlalu dini untuk tidur, namun Jennie terlalu malas untuk melakukan kegiatan lain.
Jennie mengubur dirinya dengan selimut hingga sebatas leher lalu mulai memejamkan matanya.
Omongannya tentang Lisa yang akan datang ke rumahnya memang hanya akal-akalan saja agar Vano segera pulang.
Setengah jam berlalu, namun Jennie tetap saja belum bisa tertidur. Sedari tadi dia hanya membolak-balikkan badannya, berharap dunia mimpi akan segera menjemputnya.
"Huft," Jennie menghela napas berat sambil mendudukkan dirinya bersandar pada kepala ranjang.
Ting
Bunyi notifikasi dari ponselnya membuat pandangan Jennie beralih pada ponsel yang terletak di atas nakas. Jennie meraih benda pipih itu.
Senyum tipis terukir di bibir Jennie ketika melihat Vano mengiriminya pesan.