Makan malam tiba, Mila duduk di meja makan. Maya seperti biasa, belum pulang karena kakaknya harus bekerja dan terkadang, lembur hingga larut malam.
Sementara disini, Mila harus duduk bersama ayah kandungnya, ibu tiri dan adik tirinya yang sering sekali menatap tajam ke arahnya.
Namanya Elaine, sering dipanggil El. Umurnya baru menginjak 15 tahun, hanya beda satu tahun dengan Mila.
Beda satu tahun, bukan berarti membuat adik kakak itu akur. Justru yang terjadi sebaliknya. Elaine sering kali membenci Mila, entah Mila melakukan sesuatu atau hanya diam.
“Gak usah ngambil lauk banyak-banyak. Inget, keluarga kita bukan dari keluarga kaya raya. Lo harus belajar ngirit.” Tegur Elaine pada Mila yang bahkan baru hendak mengambil ikan dari atas meja.
Ibu tirinya, Tika mengusap rambut Elaine dengan penuh kasih sayang sebelum dia membagi ikan. Memberikan bagian kepalanya kepala Mila, lalu memberikan setengahnya lagi pada Elaine.
Mila mengerutkan kening saat melihat piring Elaine yang sebelumnya memiliki satu ikan utuh. Meski begitu, dia tidak berkomentar.
Adapun Fadi, ayahnya itu hanya melihat kejadian itu. Sama seperti Mila, ayahnya tidak berkomentar apapun tentang kejadian itu dan makan dengan tenang.
Kendati mencoba terbiasa, Mila sering kali hanya ingin menangis setiap melihat perlakuan tidak adil dari ibu tirinya dan melihat ayahnya hanya diam.
Bukankah ayahnya seharusnya melindungi dia? Mengapa dia diam saja melihat putrinya di perlakukan seperti ini? Apakah ayahnya sudah tidak lagi menyayanginya?
Semua pemikiran itu mau tak mau terlintas di benaknya sepanjang makan malam berlangsung. Tawa cekikikan Elaine saat menceritakan bagaimana ada seorang pria yang mencoba mendekatinya membuat Mila menahan diri untuk tidak memutar matanya.
“Nah, kalau di sekolahmu gimana, Mil? Ada gak yang deketin kamu seperti adik kamu?” Tanya ibunya pada Mila yang diam.
Pikiran Mila tertuju pada Adrian yang sejauh ini sering mengganggunya. Tapi, Mila tidak menganggap Adrian mendekatinya secara romantis.
Adrian hanya mencoba berteman dengannya sementara apa yang adik tirinya katakan tentang seorang lelaki yang mengajaknya pergi ke suatu tempat, memberi setangkai bunga, atau mengantarnya ke kelas, itu terdengar lebih romantis.
Jadi, Mila menggelengkan kepalanya.
“Kamu itu loh,” Ayahnya yang sejak tadi diam, langsung menegurnya. “Harusnya pintar bersosialisasi seperti adik tirimu. Lihat dia. Banyak teman, ada lelaki yang aktif mendekatinya. Kalau kamu terus seperti ini, gimana dewasa kamu nanti? Mau kamu jadi perawan tua?”
“Pa, umur Mila masih 16 tahun. Kewajiban Mila itu belajar, lulus sekolah, lalu cari pekerjaan. Bukan nyari lelaki.” Ucap Mila, berkomentar dengan tenang.
“Setidaknya kamu bisa berteman. Mau jadi apa kamu di dunia ini, jika berteman saja enggak bisa?” Ayahnya tetap bersikeras, membuat Mila bisa melihat sudut bibir Elaine terangkat, tanda meremehkan.
“Aku bisa berteman, Pa. Aku cuma milih gak berteman dengan siapa pun.” Ucap Mila, membantah.
“Yakin? Bukan karena gak ada yang mau berteman ama lo, kak? Karena... lo kan... yah... lihat aja penampilan lo ke sekolah. Compang camping, berantakan, gak pinter dandan. Siapa yang mau berteman sama lo, sih?” Elaine menatap Mila dengan pandangan menantang.
Mila menyadari hal itu. Dia menyadari jika penampilan adik tirinya itu lebih menarik darinya. Tapi, tentu saja Mila tak mau memberikan kepuasan pada adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FANTASI MILA
Teen FictionTahukah di setiap malam, Mila Agnesia akan selalu berfantasi. Menatap cerahnya bulan dan bintang, Mila selalu berpikir bahwa akan ada seseorang yang mencintainya dengan sepenuh hati. Umurnya yang masih menginjak 16 tahun berpikir terlalu jauh. Dia...