TTA : 13

2K 176 10
                                    


Suara kepala Ara terbentur tembok bergema. Meringis kesakitan, gadis itu berusaha menahan air mata yang sudah menggantung di sudut matanya. Rambutnya yang tadinya rapi dikepang kini berantakan, kusut akibat jambakan kuat dari tangan Zela yang tak memberi belas kasihan. Zela tidak berhenti di situ, ia menyeret Ara kasar, memegang rambutnya seolah itu tali kendali yang bisa diperlakukan sesuka hati.

Ara kini tak hanya berantakan, tapi wajahnya sudah penuh dengan memar. Sudut bibirnya robek, darah menetes perlahan, menodai kulit pucatnya. Meskipun tubuhnya terasa seperti dihajar dari segala arah, ia berusaha tetap berdiri. Tatapannya tidak menunjukkan ketakutan, melainkan kebencian yang dalam.

“Inikan yang lo mau?” tanya Zela dingin, suaranya penuh amarah namun terjaga. Cengkeramannya di rambut Ara semakin kuat, membuat gadis itu kembali meringis.

Ara tersenyum sinis, meski luka di bibirnya membuat senyum itu lebih mirip ejekan yang pahit. “Zela, Zela... lo cuma bisa ngerelain semuanya buat gue,” katanya dengan tawa kecil yang menantang. “Siapa yang lo banggain, Zora?” Ara menatap Zela dengan mata menyipit, penuh rasa kemenangan meski tubuhnya dilumpuhkan oleh rasa sakit. “Setelah tau kelakuan lo yang sebenarnya, mana mungkin dia masih peduli sama lo?”

Ucapan Ara itu jelas menusuk hati Zela. Sebentar, cengkeraman Zela di rambut Ara mengendur. Melihat itu, Ara berusaha bangkit, memanfaatkan kesempatan yang kecil. Namun, Zela lebih cepat. Dengan kekuatan penuh, ia kembali menarik rambut Ara, kali ini dengan kejam yang tak terukur. Ara menjerit, lalu terdiam ketika melihat senyum menakutkan yang terlukis di wajah Zela.

“Caramel Dwita,” suara Zela berubah dingin, seakan kemarahan di dalam dirinya mencapai puncak. “Menurut lo, gue bakal biarin Kak Zora tau semua ini? Lo jangan terlalu naif. Gue bisa aja nyingkirin salah satu murid SMP Camelio, lo tau kan siapa yang gue maksud?”

Ara menegang, tatapan tajam penuh kemarahan langsung tertuju pada Zela. “Jangan sentuh Cery!” teriaknya. Amarah yang membara di matanya membuatnya terlihat lebih hidup meski tubuhnya sudah tak berdaya.

Namun, Zela hanya tertawa sinis, tatapan penuh kemenangan yang dingin itu terus menusuk hati Ara. Ia merogoh saku roknya, mengeluarkan lipstik merah yang mencolok. Ara sempat mencoba melawan, bahkan berhasil meninju wajah Zela, merobek sudut bibirnya. Tapi Zela tidak mundur sedikit pun. Malah, ia tertawa, sebuah tawa dingin yang menggema, menyeramkan, seolah menikmati setiap detik penderitaan yang ia berikan pada Ara.

“Bagus,” ucap Zela, nada suaranya penuh sarkasme. “Ternyata lo punya tenaga juga. Gue kira lo cuma bisa sok jago di media sosial.” Dengan satu tangan masih mencengkeram kuat rambut Ara, tangan lainnya mulai mencoret wajah gadis itu dengan lipstik, seolah ia adalah kanvas hidup yang bisa dipermalukan sesuka hati.

Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mengamati kejadian itu dari jauh. Diam-diam ia merekam setiap momen, meskipun suara tak bisa tertangkap dengan jelas. Sosok itu tersenyum dingin, puas dengan apa yang ia lihat. “Zela,” bisiknya perlahan, “waktunya lo ngerasain lagi apa itu neraka.”

Tanpa ingin membuang waktu, orang itu segera pergi, menghilang dalam kegelapan, meninggalkan Zela dan Ara yang masih terjebak dalam siklus penuh kebencian.

......

Zora duduk tenang di bangkunya, menatap Bu Rika yang sedang menjelaskan di depan kelas. Sesekali, Zora mencatat keterangan penting yang dirasanya berguna. Ada satu hal yang selalu ia syukuri dari teman sekelasnya—mereka tidak berisik saat guru menjelaskan. Jika tidak tertarik, mereka hanya akan tidur. Salah satunya adalah Albiru, yang kini terlelap di bangku belakang dengan tangan sebagai bantal. Wajahnya menghadap ke arah Zora, menampilkan ketenangan yang kontras dengan suasana kelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Transmigrasi Twins AntagonisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang