Restoran itu tampak megah dengan lampu kristal yang bergemerlapan di langit-langitnya. Meja-meja bundar tertata rapi, dilapisi kain putih yang halus, sementara gelas-gelas berkilauan memantulkan sinar temaram. Jessie duduk di salah satu meja bersama teman-teman kuliahnya, dikelilingi obrolan ringan yang penuh tawa. Mereka terlihat sempurna-senyum yang tulus, candaan yang menghangatkan suasana, namun Jessie tahu lebih baik daripada mempercayai topeng itu.
Di antara suara garpu dan pisau yang bertemu piring, dan tawa yang menggema di ruang mewah itu, Jessie hanya terdiam, memainkan potongan steak di hadapannya. Seorang temannya, Lila, bercerita dengan antusias tentang pencapaiannya mendapatkan perhatian dari salah satu dosen terkenal. Jessie tersenyum tipis, melihat kilatan ambisi di balik mata Lila yang tampak begitu cerah. Semua ini hanya permainan, pikirnya. Teman-temannya tak pernah sungguh-sungguh-semua dilakukan demi keuntungan dan kesempatan, demi status yang lebih tinggi di dunia yang dipenuhi kepalsuan.
"Jessie, kamu kok diem aja?" tanya salah satu dari mereka, Bianca, dengan nada yang tampaknya ramah namun terlalu manis untuk dipercayai. Jessie mengangkat wajahnya, tersenyum tipis, lalu meneguk sedikit wine dari gelasnya.
"Hanya menikmati suasana, itu saja," jawabnya singkat, dengan suara datar yang selalu ia gunakan ketika tak ingin berbasa-basi. Mereka tertawa lagi, berpikir bahwa Jessie hanya terlalu pendiam seperti biasanya. Tapi, di balik senyum tipisnya, Jessie tahu betapa rapuhnya ilusi ini-persahabatan yang dibangun di atas kepentingan diri sendiri.
Merasa bosan dengan sandiwara yang tak ada habisnya, Jessie mendorong kursinya perlahan, membuat mereka melirik sejenak sebelum kembali fokus pada pembicaraan mereka. "Aku keluar sebentar, butuh udara segar," katanya, tanpa menunggu respon lebih lanjut.
Ia berjalan keluar dari restoran, menyusuri koridor hingga tiba di balkon yang menghadap pemandangan kota. Dari ketinggian gedung restoran itu, lampu-lampu kota berkilauan seperti lautan bintang yang terbalik. Angin malam yang dingin menyapu wajahnya, membuat rambut hitam panjangnya berkibar di belakang. Ia merasakan ketenangan sesaat, jauh dari obrolan penuh kebohongan di dalam sana.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Jessie merasakan getaran yang familiar mulai merambat di dalam dirinya-sesuatu yang selalu ia sembunyikan di balik senyum dinginnya, sebuah sisi gelap yang selalu berusaha keluar. Ia menggenggam erat pagar besi di depannya, mencoba menenangkan diri.
Tatapannya yang tadi kosong kini mulai berubah, ada kilatan di matanya yang lebih tajam-sesuatu yang ia coba pendam namun tak pernah bisa sepenuhnya hilang. Dalam kesunyian malam itu, Jessie merasa hasrat gelapnya menyeruak, seperti bisikan yang terus memanggilnya untuk melepaskan kendali. Senyum tipis yang tadi ia tunjukkan di dalam, perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi yang lebih gelap.
Di bawah cahaya bulan yang memantul di kaca-kaca gedung, Jessie menarik napas dalam-dalam, mencoba melawan dorongan itu. Tapi di tengah perjuangannya, ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang membara di dalam dirinya-dorongan untuk membiarkan sisi yang lain mengambil alih. Sisi yang haus akan kebebasan dari aturan, dari kepura-puraan, dari segala yang ia benci tentang dunia tempat ia hidup.
Jessie menatap ke kejauhan, memandangi gemerlap lampu kota yang terasa seperti penjara, dan untuk sesaat ia membayangkan bagaimana rasanya jika ia membiarkan sisi kelam itu keluar, membiarkan semua yang ada di dalam dirinya terungkap tanpa rasa takut. Tapi untuk malam ini, ia hanya menekan hasrat itu dalam-dalam, membiarkannya tetap terpendam meski hanya sementara.
Di balik ketenangan dan keheningan malam, ada sesuatu yang tengah bergolak dalam diri Jessie, menunggu saatnya untuk bebas. Sebuah sisi lain yang berbisik pelan di telinganya, menuntut untuk diperhatikan.
Saat Jessie berbalik untuk kembali masuk ke dalam restoran, langkahnya terhenti mendadak ketika ia bertabrakan dengan seseorang. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan, namun pria itu dengan cepat meraih lengannya, menahan Jessie agar tidak jatuh. Sentuhan itu sejenak mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhnya—sesuatu yang lebih dari sekadar kejutan biasa.
Jessie mendongak, matanya bertemu dengan sepasang mata tajam yang menatapnya dengan cara berbeda, seolah pria itu bisa melihat langsung ke dalam dirinya, melampaui semua topeng yang ia kenakan. Ada sesuatu yang asing dari pria ini—auranya gelap, tetapi menarik, seakan ia membawa rahasia yang sama beratnya dengan yang Jessie sembunyikan. Pria itu tersenyum tipis, senyum yang tidak Jessie mengerti maknanya.
"Maaf, aku tidak melihatmu," ujar pria itu, suaranya rendah dan dalam, namun ada nada yang tidak sepenuhnya ramah di sana, seolah-olah ia membaca sesuatu yang tersembunyi dalam diri Jessie.
Jessie hanya mengangguk singkat, melepaskan tangannya dari genggaman pria itu. Tetapi saat ia berbalik, ia merasakan tatapan pria itu yang masih mengikuti langkahnya—sebuah tatapan yang membangkitkan sesuatu di dalam dirinya, membuat getaran yang tadi ia tahan perlahan semakin menguat. Jessie tidak tahu siapa pria ini, namun ia tahu bahwa pertemuan singkat itu tidak akan mudah ia lupakan.
___________________________________________
HALOWW GUYSS SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CHAPTER 1 INI YA!! TEKAN VOTE DAN KOMEN NYA ✨🙌🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
JESSIE (ANGEL & DEVIL)
RomansaJessie adalah gadis misterius yang menyimpan rahasia gelap di balik senyumnya yang memikat. Kehadirannya selalu berhasil membuat orang-orang di sekitarnya penasaran-terlalu baik untuk dianggap berbahaya, tetapi terlalu gelap untuk sepenuhnya diperca...