6

283 53 3
                                    

Pagi ini tepat pukul tujuh kedua matanya terusik dengan silau sinar matahari yang menembus kaca jendelanya karena tirai yang terbuka.

"Mi. Boleh nggak aku istirahat dulu" ucap Ara masih menggulung tubuhnya pada selimut tebal.

"Ditunggu papi dibawah buat sarapan" ucap Salsa dengan sengaja mematikan AC di kamarnya

"Mami. Sejak kapan mami jadi ngeselin gini kaya papi sih" ucapan Ara sempat tidak terdengar oleh Salsa karena teredam selimut tebal kamarnya

"Sejak kakak nggak mau nurut sama papi" ucap Salsa meninggalkan Ara yang masih meronta.

Ara akui Salsa memang istri yang sangat berbakti pada suaminya. Istri yang tidak pernah membangkang dan istri yang selalu patuh akan perkataan yang terlontar dari papinya.
Salsa memang idaman semua lelaki, tidak pernah ia lihat maminya marah sampai meledak-ledak dihadapannya. Tidak pernah ia temukan sisi Salsa yang tidak Ara sukai. Namun kini, maminya telah berbeda. Seperti saat ini, dengan sengaja menyalakan genderang perang dengan anaknya sendiri.

Ara mendengus sebal dan masuk ke kamar mandinya. Mencuci muka serta menggosok giginya dan segera keluar dari kamar untuk bergabung dengan keluarganya.

Sudah sepuluh menit Ara menyaksikan keempat dari mereka mengunyah sarapannya dengan asyik tanpa beban. Beda dengan dirinya, piring dihadapannya masih kosong dan belum berniat untuk ia isi.

"Kenapa diem? Nggak lapar?" tanya Salsa membuka suara

"Nggak lapar. Nanti siang aja" ucap Ara sudah berniat meninggalkan kursinya

"Ara. Duduk. Papi mau bicara setelah ini" Rony yang menatap tajam ke arahnya membuat dirinya segera duduk kembali.

Tidak lama setelah ayahnya menyelesaikan sarapannya, kini pria yang berada tepat di hadapannya membuka obrolan. Alih-alih memecah keheningan malah membuat Ara semakin sebal.

"Mana pacar kamu itu? Katanya mau ketemu papi" tanya Rony menyeruput kopinya

"Kan papi tolak kemarin" ucap Ara tak melihat ke arah papinya sama sekali

"Kenapa nggak ada niatan buat datang lagi. Cuma segitu aja nyalinya?" intonasi ejekan itu membuat Ara menatap tajam ke arah papinya

"Papi" nada Ara meninggi seakan ingin meluapkan semua pada ayahnya yang menyebalkan itu

"Sejak kapan anak papi jadi berani begini? pernah papi ajarkan anak-anak papi membentak ke orang yang lebih tua?" Rony dengan santai bersedekap di depan Ara

"Mas Arva dan adik kalau sudah selesai bisa masuk ke kamar dulu" lanjut Rony yang di angguki oleh anak lelakinya

"Papi terlalu meremehkan Arlo. Dia nggak seperti yang papi pikirkan" bela Ara

"Lalu yang papi pikirkan apa? Dia masih kuliah dan belum bisa berdiri di kakinya sendiri. Belum bisa kasih kamu apapun. Sedangkan kalaupun bisa apa kamu nggak malu kalau dibelikan sesuatu dengan uang hasil kerja orang tuanya?" jawab Rony seakan mengintimidasi

"Papi!! Papi terlalu meremehkan orang. Papi terlalu memandang rendah semua orang yang tidak setara dengan papi. Menurut papi Ara tidak cocok dengan Arlo karena dia tidak sekaya papi? Orang tuanya tidak sekaya papi? Mobilnya tidak semewah papi?" ucap Ara menggebu dengan mata yang berkaca-kaca

"Cinta nggak buat kamu bisa beli tas Hermes kesayanganmu, tidak bisa membeli mobil yang kamu impikan, nggak bisa nambah koleksi parfummu yang harga selangit itu" jawab Rony dengan nada yang sedikit meninggi

"Lalu, kalau papi saja bisa melihat dan menilai orang dari strata ekonominya, menyuruh Ara menikah dengan orang kaya yang papi mau, menyuruh Ara menuruti semua keinginan papi. Kenapa dulu papi mau menikah sama mami? Mami bukan orang kaya, mami jauh dari kata kaya raya idaman papi, tapi kenapa papi tetap menikahi mami? bukan kah itu adalah salah satu perbedaan ekonomi yang sangat mencolok?" bentak Ara dengan sebal

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

MY AURORAETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang