2 tahun yang lalu adalah perjuangan Nadia untuk masuk ke SMA harapan Ayahnya, karena dahulu ia bersekolah di SMA tersebut.
"Kakak mau masuk SMA mana?" Tanya Ayahnya yang bernama Arka Aditama.
"Mmm... belum tau, Yah." Jawab Nadia dengan perasaan canggung.
Dahi Ayah Arka mengerut, "Kok belum tau? Harus dipersiapkan dari sekarang. Bulan depan udah mulai pendaftaran, lho,"
"Ayah, sih, maunya Kakak masuk SMAN 146 Jakarta, tapi kalau Kakak punya tujuan tersendiri, silakan," ucapnya sambil tersenyum. "Ayah nggak memaksa."
Tak memaksa katanya.
Nadia sangat menyadari apa yang Ayahnya ucapkan. Ia mulai berpikir bagaimana caranya mengabulkan permintaan sang Ayah.
Nadia teringat kejadian 3 tahun lalu, yang di mana pendaftaran ia dan adiknya terlaksana secara berbarengan, di tahun yang sama, hanya berbeda jadwal sekitar 3 minggu. Ayah Arka mengharapkan Bella untuk masuk di SDN 13 Jakarta dan Nadia di SMPN 284 Jakarta. Puji Syukur, Bella diterima di SD sesuai harapan Ayahnya. Sementara Nadia ditolak di SMP 284 Jakarta dan berujung mendaftar ke sekolah swasta. Ia merasa sangat gagal dengan usaha dan pencapaian yang ia siapkan setiap waktunya. Masuk ke sekolah swasta adalah hal terberat untuknya, karena harus mengelurkan biaya yang sangat besar. Sedangkan perekonomian keluarganya saja tak sebanyak itu, karena Nadia bukan terlahir dari keluarga yang kaya dan memiliki segalanya.
"Ya Tuhan, aku takut. Takut hal yang lalu terulang lagi. Jika gagal, apakah kali ini orang tua ku akan merasa sangat kecewa terhadap diriku? Tolong kabulkanlah doa-doa yang setiap waktunya aku panjatkan kepada-Mu, Tuhan." batin Nadia.
***
Hari pengumuman tingkat SMA 'lah tiba. Saat pendaftaran 2 minggu lalu, Nadia memilih 2 sekolah, SMAN 146 Jakarta & SMAN 177 Jakarta jalur prestasi.
Perlahan ia buka website Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan penuh ketegangan dan senyuman yang terus terpancar, karena ia merasa percaya diri akan diterima di SMAN 146 Jakarta sesuai harapan Ayahnya. Ayah dan Bundanya juga ikut mendampingi.
"Ayo dibuka, Kak!" Perintah sang Bunda yang bernama Intan Juwita.
Bunda Intan menggenggam erat tangan putri sulungnya sambil memanjatkan doa. Begitupun dengan Ayah Arka.
Raut wajah yang semula begitu cerah, kini berubah menjadi sirna.
"Menapa? Mengapa engkau tak mengabulkan doa-doa ku, Tuhan? Mengapa semua ini terjadi pada diriku? Mengapa aku selalu merasa sial?" batinnya.
Nadia benar-benar kecewa dengan hasilnya. Air matanya terus meminta untuk jatuh, tetapi ia menahannya. Ia melirik sekilas ke arah Ayahnya. Sangat terlihat jelas dari ekspresi sang Ayah.
"Maaf, Yah."
"Untuk apa, Kak? Gapapa, kok. Kakak 'kan udah berusaha semaksimal mungkin."
Bohong, pasti ada terbesit rasa kecewa yang dirasakan Ayah Arka.
Bunda Intan mendekap erat putri sulungnya untuk menyalurkan rasa ketenangan, seolah memberikan kekuatan, "Tidak apa-apa, Nak. Masih banyak jalan untuk mencapai kesuksesan."
"Jalur mandiri aja, ya, Kak? Di SMAN 100 Jakarta."
"Nanti Ayah titip nama kamu ke Om Surya. Setau Ayah, dia saling kenal dengan kepala sekolah SMAN 100 Jakarta. Kamu tetap ikut tes mandirinya. Kalau gagal lagi, Ayah akan bayar bangku untuk kamu."
Ayah Arka rela melakukan apa saja demi masa depan anak-anaknya. Nadia merasa tak berguna.
"Besok pendaftarannya sudah dibuka. Tesnya dimulai minggu depan. Kakak persiapkan dengan baik, ya,"
"Ayah yakin, anak-anak Ayah hebat semua."
"Yah, tapi SMAN 100 Jakarta jaraknya jauh banget dari rumah kita. Pasti akan memerlukan ongkos yang besar," lirih Nadia. Sia-sia ia bersusah payah menahan air matanya agar tak terjatuh. "Nana nggak mau membebani Ayah."
Ayah Arka menggeleng kuat sambil mendekat ke arah putri sulungnya. "Nggak, Ayah udah persiapkan semuanya untuk masa depan anak-anak Ayah. Kakak jangan khawatir, ya, tugas Kakak hanya belajar aja, oke?"
Nana menjawab dengan anggukan.
***
Tes mandiri diadakan secara online bebarengan dengan SMAN lainnya. Kedua tanganku dingin, menandakan diriku benar-benar gugup.
"Semangat, Kak. Semoga hasilnya memuaskan. Yang penting isi aja, jangan kelamaan mikir karena ada durasi waktu. Kalaupun nggak keterima lagi, Ayah akan pesan bangku dan nitip nama Kakak ke Om Surya. Kakak tenang aja."
Jadi, tes mandiri yang dilakukan Nadia hanyalah sebatas formalitas saja. Pada akhirnya, ia akan tetap keterima di sekolah tersebut, karena sang Ayah rela diam-diam menitipkan nama putri sulungnya dan memesan bangku, tetapi belum dibayar di SMAN 100 Jakarta untuk berjaga-jaga.
3 jam Nadia habiskan hanya untuk mengerjakan soal tes mandiri. Tiba-tiba terjadi masalah pada akunnya. Ayah Arka panik, Nadia, dan Bunda Intan juga ikutan panik. "DUHHH, KAK, TADI AYAH UDAH BILANG SAMA KAMU, JANGAN KELAMAAN NGISI SOALNYA. ISI ASAL AJA. JADINYA BEGINI KAN!" Ucap Ayah Arka dengan nada yang sedikit ditinggikan namun terdengar seperti ditekan. Tetap saja itu termasuk bentakan.
Tangisan Nadia pecah. Ia benar-benar tak menyangka hal seperti ini terjadi lagi pada dirinya. Bahkan ia juga terkejut dengan Ayahnya yang mebentaknya, biasanya Ayah Arka tak seperti itu.
"AYAH! JANGAN MARAHIN ANAKKU! DIA NGGAK SALAH." Bela sang Bunda untuk melindungi anak sulungnya.
"TERUS AJA, BUN, TERUS BELAIN!"
Nadia semakin menangis. Hatinya hancur, ia merasa sudah gagal menjadi anak. Ia sudah menghancurkan segala harapan yang orang tuanya berikan kepada dirinya.
"Sabar, ya, Kak, Bunda yakin ini hanyalah kesalahan sementara. Kalau keyakinan Bunda salah, kita pindah ke Bandung aja, sekolah di sana."
Bunda Intan berbicara seperti itu karena ia berasal dari Bandung. Ia tak terima bahwa anaknya dibentak oleh suaminya.
Ayah Arka masih sibuk menelepon Om Surya untuk meminta bantuan.
Tak lama kemudian setelah Ayah Arka selesai menelepon. Publik dibuat heboh dengan berita di media sosial bahwa ada terjadi gangguan pada link soal ujian mandiri SMAN 100 Jakarta. Maka dari itu, seluruh calon peserta siswa SMAN 100 Jakarta diharap untuk melakukan tes kembali satu jam setelah kejadian.
Nadia merasa sangat lega. Begitupun Ayah dan Bundanya. Ayah Arka meminta maaf kepada kedua bidadarinya sambil memeluk erat karena telah menyakiti hati keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN & KENYATAAN [AN YUJIN & LEESEO]
General FictionAnak pertama perempuan sering kali dianggap sebagai orang yang memiliki kesabaran seluas samudera, kemandirian, juga kecerdasannya, peran penting, panutan untuk adiknya, pendengar yang baik, menjadi garda terdepan untuk orang tua dan adiknya, serta...