[RK] - 00

50 3 1
                                    

—★

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Senja yang sangat tenang, angin sepoi-sepoi melengkapi kala itu, burung-burung berterbangan bebas di cakrawala hendak kembali pulang. Di teras rumah sederhana dengan halamannya yang terawat sangat baik, terlihat segerombolan anak laki-laki tengah memperhatikan anak tertua diantara mereka yang sedang merakit sebuah layangan. Layangan untuk adik-adiknya, ia bernama Halilintar Alif Hamdalah.

Dengan tangannya lihai ia dapat membuat 7 layangan dengan waktu singkat, Hali menyeka keringat yang membasahi dahinya “Nah udah jadi nih, ambil satu-satu. Jangan berebut.” ucap Hali kepada adik-adiknya sembari memberikan layangan yang sudah selesai ia buat.

Dengan bersemangat keenam adiknya mengambil satu-satu layangan yang menurut mereka keren lalu dengan segera mereka berlari ke halaman rumah untuk menerbangkan layangan mereka, kalau bisa mereka ingin ke lapangan atau ke sawah namun hari sudah mulai gelap jadi mereka hanya bisa mengetes nya di halaman rumah dan benar-benar menerbangkannya esok hari.

Hali menatap mereka satu persatu dan mulai mengabsen adik-adiknya, Ia mengerutkan keningnya saat mengetahui dua dari keenam adiknya tak ada. Hali menoleh ke kiri dan ke kanan dan mendapati kedua adik yang Ia cari berada tepat disamping kanan dan kirinya, Hali lantas bertanya “Kalian gak ikut main?” tanya Hali.

Netra Azure itu menggeleng “Kalo Mas gak ikut, kami juga gak ikut.” ucapnya yang kemudian di anggukkan oleh Iris Gold yang ada disamping kanan Hali. Bocah biru itu bernama Taufan Laut Nevan dan bocah emas itu bernama Gempa Farrez Erlangga. Mereka bertiga adalah saudara kembar.

Hali hanya menghela nafasnya lalu kembali memperhatikan adik-adiknya yang lain tengah bermain, terdengar sebuah langkah kaki mendekati mereka yang membuat ketiganya refleks menoleh kebelakang dan menangkap sosok wanita yang sudah duduk dibelakang mereka menggunakan kursi kecil si bungsu. Itu Bunda mereka, Mala. Dengan senyumnya yang hangat ia mengelus lembut pucuk rambut mereka satu persatu, dibelainya surai mereka yang memang panjang.

Mereka tak mau memotong rambutnya.

“Dipotong ya rambutnya? Udah panjang lho ini.” celetuk Mala sembari mengikat kepang surai rambut si sulung, Taufan dan Gempa menggeleng bersamaan.

“Sayang bun kalo dipotong, susah buat panjangin rambutnya.” ucap Gempa sambil memegangi rambutnya, Mala hanya tertawa melihat tingkah laku ketiga buah hatinya. Mala lalu menatap Hali yang memang berhadapan langsung dengannya setelah selesai mengepang rambutnya.

“Kalo Mas Al, gimana? Mau nggak dipotong rambutnya?” tanya Mala seraya meraih surai rambut Taufan dan sudah bersiap untuk mengepangnya juga, gaya rambut kepang memang menjadi kesukaan mereka bertiga.

“Dikepang ke samping ya bun! Kayak biasa.” ucap Taufan dengan antusias yang hanya mendapatkan anggukan dari sang empu.

Hali lalu menyentuh rambutnya yang telah dikepang oleh sang Ibunda, dengan matanya yang teduh ia menjawab “Gamau bun, sayang.” Tentu saja, Mala sudah menduga jawaban itu. Ia lagi-lagi hanya bisa tersenyum sembari mengepang surai indah mereka bertiga. Berbeda dengan kakak-kakaknya, adik-adik mereka justru tak betah dengan rambut panjang dan akan segera memotong rambut mereka jikalau sudah panjang walau sedikit.

Rumah Kenangan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang