Bianca Kristanto, model cantik dengan pesona menakjubkan, terperangkap dalam perjodohan yang dipaksakan dengan Nathaniel Wijaya, konglomerat tampan yang masih terikat pada cinta lamanya, Gracia. Di balik kemewahan dan sorotan media, keduanya harus b...
Gedung pencakar langit Jakarta berdiri kokoh di bawah langit sore yang cerah. Cahaya matahari memantul di permukaan kaca yang membungkus salah satu gedung tertinggi di kota itu. Di dalamnya, sebuah ruang makan pribadi dengan marmer mengilap dan chandelier kristal yang menggantung megah di langit-langit. Suasana mewah dan elegan memenuhi ruangan, namun dingin, tak berjiwa.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ilustrasi
Di tengah ruangan, duduklah Bianca Kristanto. Model top Indonesia yang kerap muncul di sampul majalah-majalah internasional. Tingginya yang semampai, 176 cm, dengan kulit putih bersih dan tubuh ramping nan ideal, membuat semua mata tak bisa lepas darinya. Rambut panjangnya yang halus terurai sempurna, mengalir lembut di bahunya. Setiap gerakan Bianca selalu terlihat sempurna, seolah dunia ini adalah panggungnya.
Namun hari ini, Bianca duduk diam dengan ekspresi datar, jari-jarinya yang lentik memainkan ujung cangkir teh di depannya. Di balik kecantikan yang memukau, ada kekesalan dan ketidakberdayaan yang dia sembunyikan di balik senyumnya yang selalu terlihat tenang.
Suara langkah sepatu keras bergema di lantai marmer, memecah kesunyian. Nathaniel Wijaya, pria yang ditakdirkan untuk menjadi suaminya, masuk dengan aura dingin dan berwibawa. Nathaniel, pengusaha sukses dengan tinggi badan 187 cm, tubuh tegap yang dibalut jas hitam mewah, dan wajah tampan yang tegas. Rahangnya yang kuat dan tatapan matanya yang tajam memancarkan wibawa seorang pria yang tidak terbiasa ditolak.
Nathaniel berhenti di depan meja panjang itu, menatap Bianca tanpa sedikitpun senyum.
"Kamu tahu kenapa kita di sini, kan?" Nathaniel memulai dengan nada yang tegas, formal, dan dingin. "Saya akan langsung ke intinya. Saya tidak tertarik dengan pernikahan ini."
Bianca menoleh, menatap pria itu dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu pembicaraan ini tidak akan berjalan mudah. "Kamu pikir aku menginginkan ini? Aku nggak minta dijodohin sama kamu."
Nathaniel tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Tapi kamu di sini. Dan bagi saya, itu artinya kamu setuju dengan rencana konyol ini."
Bianca menghela napas, mencoba menahan kekesalan yang mulai muncul. "Ini bukan soal setuju atau tidak. Aku melakukan ini untuk keluarga."
Tatapan Nathaniel semakin tajam, suaranya turun menjadi lebih dingin. "Keluarga. Itu selalu jadi alasan, bukan? Saya tidak peduli alasan mereka. Saya sudah memiliki kehidupan sendiri, dan saya tidak akan membiarkan pernikahan ini menghancurkannya."
"Dengar," Bianca berdiri, berusaha menjaga ketenangannya. "Aku juga nggak mau terlibat lebih jauh dari ini. Kita hanya perlu menjalani ini sampai semuanya selesai. Setelah itu, kamu bebas melakukan apa yang kamu mau. Aku nggak akan ikut campur."
Nathaniel memandangnya, matanya menelusuri wajah Bianca, seolah menilai apakah dia berkata jujur. Lalu, dia tersenyum sinis. "Dan kamu pikir itu cukup? Bahwa dengan kata-kata seperti itu, semuanya akan selesai begitu saja?"
Bianca menegakkan tubuhnya, tidak ingin terlihat lemah di depan pria ini. "Kita berdua tahu ini bukan soal apa yang kita inginkan. Ini soal tanggung jawab yang harus kita jalani. Mau kamu terima atau tidak, kita harus menyelesaikannya."
Nathaniel melangkah mendekat, suaranya tetap rendah dan tajam. "Dengar baik-baik, Bianca. Saya tidak pernah menyukai pernikahan yang dipaksakan, dan saya tidak akan memulai sekarang. Kamu tidak lebih dari sekadar alat bagi keluarga kita untuk mencapai tujuan mereka."
Bianca merasa detak jantungnya bertambah cepat, namun dia menahan diri untuk tidak memperlihatkannya. "Dan kamu pikir aku mau jadi alat? Ini bukan pilihan yang aku buat, Nathan. Tapi kita tidak punya jalan keluar."
Nathaniel tersenyum tipis lagi, tapi kali ini ada kemarahan yang terselubung di balik senyumnya. "Kamu salah. Saya selalu punya pilihan."
Suasana di antara mereka semakin tegang, dan udara terasa semakin berat. Bianca tahu bahwa percakapan ini tidak akan berakhir dengan baik, tapi dia juga tahu bahwa dia harus tetap berdiri teguh di hadapan pria ini.
"Aku nggak akan ganggu hidup kamu, Nathan," kata Bianca akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Kita hanya perlu jalani ini. Setelah itu, kamu bisa kembali ke kehidupan kamu. Gracia bisa tetap ada di hidup kamu, dan aku nggak akan peduli."
Mendengar nama Gracia, mata Nathaniel langsung menyipit, dan Bianca tahu dia telah memukul titik yang sensitif. "Jangan bawa-bawa Gracia ke dalam ini," Nathaniel memperingatkan, suaranya rendah dan berbahaya. "Dia tidak ada hubungannya denganmu."
Bianca mendengus pelan. "Kalau begitu, jangan bertingkah seolah aku yang mau merusak hubungan kalian. Aku di sini bukan untuk itu. Aku hanya ingin menyelesaikan ini dengan cepat dan bersih."
Nathaniel menatapnya lama, ekspresinya sulit dibaca. Lalu dia berkata dengan nada dingin, "Saya harap kamu mengerti bahwa pernikahan ini tidak akan mengubah apapun. Saya tidak akan pernah melihatmu lebih dari sekadar kewajiban."
Bianca mengangguk pelan, menerima kenyataan pahit itu. "Aku juga nggak mengharapkan lebih dari itu."
Nathaniel menatapnya lagi, kali ini dengan sedikit rasa penasaran di balik mata dinginnya. "Baik. Kalau begitu, kita sepakat. Tapi ingat ini, Bianca. Jangan pernah berharap saya akan bermain sesuai aturan keluarga kita."
Bianca hanya mengangguk, merasa detak jantungnya masih berpacu, tapi dia menolak untuk menunjukkan kelemahannya. Nathaniel lalu melangkah keluar ruangan tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan Bianca sendirian dengan pikirannya yang kacau.
Bianca memejamkan matanya sejenak, mencoba mengatur napasnya yang terasa semakin cepat. Tangannya menggenggam tepi kursi dengan erat, seolah mencari pegangan di tengah situasi yang tak bisa ia kendalikan. Kakinya terasa lemah, tapi dia memaksa dirinya untuk tetap tegak. Tidak ada jalan keluar, pikirnya. Semua ini akan segera selesai, dan dia hanya perlu bertahan.
Suara dering telepon mengalihkan perhatiannya. Bianca meraih ponselnya dari meja, dan melihat nama ibunya terpampang di layar. Dengan berat hati, dia mengangkatnya.
"Ya, Ma?" suaranya terdengar lebih lelah dari biasanya.
"Bianca, sayang, kamu sudah bertemu Nathaniel, kan?" suara sang ibu terdengar riang di seberang telepon, seolah semua masalah di dunia ini tidak ada.
"Sudah, Ma. Kami baru saja berbicara."
"Bagus, bagus. Kalian berdua akan menjadi pasangan yang sempurna. Mama yakin dia pria yang baik."
Bianca tersenyum pahit. "Ya, kita lihat saja nanti, Ma."
"Oh, jangan pesimis begitu, sayang. Semua ini untuk masa depanmu juga. Nathaniel itu pria yang luar biasa. Kamu akan mengerti nanti."
Bianca hanya mendengarkan, tidak ingin memperpanjang percakapan. Hatinya terasa berat setiap kali dia harus mendengar kata-kata itu. Dia tahu bahwa keluarganya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi apakah ini benar-benar yang terbaik? Bianca tidak yakin.