"Putriku!! Di mana putriku?!"
Dengan langkah terhuyung-huyung Raja Aegon memasuki kastel. Pakaiannya berlumuran berdarah, luka serius ada di sekujur tubuhnya. Ya, sang Raja baru kembali dari pertempuran.
"Yang Mulia!!" Salah seorang pelayan di sana dengan cepat menghampiri Raja Aegon, ketika menyadari sang Raja yang hampir tumbang dan kondisinya cukup menyedihkan. Wanita itu memegang pundak sang Raja, ditatapnya penuh rasa khawatir. "Yang Mulia, seharusnya anda—"
"—Putriku, aku ingin bertemu dengannya!" Pangkas Raja Aegon dengan cepat.
Pelayan tadi mengernyit heran, hal buruk apa yang kira-kira telah terjadi di medan perang, hingga membuat keadaan Rajanya kacau seperti ini. Wanita itu tahu, setiap pertempuran terjadi pastilah memakan korban, tapi seburuk apakah berita kematian kali ini?
Tak lama, selang beberapa waktu segerombol pasukan ksatria memasuki kastel. Semerbak bau amis darah seketika merebak ke sepenjuru ruangan. Mereka tertatih-tatih dan kelihatannya berusaha mengejar Raja Aegon.
Sebelumnya,
Hujan deras mengguyur Tanah Dravemor, kobaran api masih menyala di medan perang. Tatapan itu, tatapan sedih para prajurit memandang rekan seperjuangan yang telah gugur menjadi mayat-mati. Sungguh, pertempuran kali ini benar-benar memakan banyak korban.
"Yang Mulia, sebaiknya kita mundur!" Ujar salah satu Ksatria di belakangnya, lengan Ksatria itu terluka parah tetapi tidak menampik ia masih kuat menggenggam pedangnya erat. Sementara sang Raja menimang-nimang langkah apa yang selanjutnya ia harus lakukan.
Satu lagi Ksatria dari arah belakang memacu kudanya cepat ke arah Raja Aegon. Keadaannya terlihat buruk, wajahnya begitu pucat. "Yang Mulia!" Pekikan Ksatria itu sontak menyadarkan sang Raja dari lamunannya.
"P-Pangeran terbunuh! Sa-saya menemukan tubuh mereka, ada pedang yang menancap di punggung dan satu lagi kepala!" Ksatria tadi menjelaskan dengan tubuh gemetar. Sungguh pemandangan yang tak pernah ia sanggup bayangkan. Menyaksikan tubuh tuannya tergeletak di atas tanah membuat nafasnya sesak dan ingin berhenti.
Raja Aegon tersentak, "Apa maksud ucapanmu Ksatria Nathan?!" Ia murka, isi kepalanya terasa mendidih. "Jangan bermain-main denganku,"
Ksatria Nathan semakin gemetar, ia ragu menjawab pertanyaan sang Raja. "Y-Yang Mulia.. saya berani bersumpah, m-mereka-". Belum selesai ia berkata, Raja Aegon dengan cepat menyela.
"Apa maksudmu mereka?!!" Hadrik Raja Aegon, matanya merah urat-urat syaraf di bola matanya nampak jelas. Raja Aegon mengarahkan pedangnya pada Ksatria Nathan.
Dengan gerakan lamban telunjuk Ksatria Nathan menunjuk ke satu arah. Di sebelah selatan sana, terlihat jelas mayat Pangeran Danish dan Pangeran Zwan yang tergeletak saling berdekatan.
Raja Aegon yang melihat seketika menggeram, langkahnya tanpa ragu maju ke arah depan, melangkah mendekat kepada daerah musuh. Tak ada rasa takut sedikitpun, jika kedua putranya saja mati, lalu apalagi yang patut ia perjuangkan?
Belum lagi ribuan nyawa yang melayang begitu mudahnya dengan sia-sia. Kalah menjadi abu, menang menjadi arang... tetapi tidak! kenyataannya keadaan kedua belah pihak kini sama-sama menjadi abu, sungguh ironi.
Gemuruh petir langit saat itu seakan menjadi saksi bisu atas kekacauan yang diperbuat mereka yang tamak. Aegon melempar pedang berlumur darah miliknya tepat ke hadapan Raja Eryndor dari Dravemor. Dari sela-sela jari kekar milik sang raja, segel perak yang melambangkan perjanjian damai dipersembahkan. "Untuk anak-anakku. Untuk Rakyatku,"
Kembali pada saat ini,
"Ayah?!" Itu Virelia, Putri Virelia... masih dengan gaun tidurnya gadis itu berlari dan segera memeluk Ayahnya. "Ayah ada apa?! Kenapa keadaan ayah kacau seperti ini?" Putri Virelia khawatir, dia tidak bisa tidur lalu tiba-tiba saja sang Ayah datang dengan kondisi yang menyeramkan, hal ini sungguh mengagetkan dirinya.
Pikirannya melayang, entah kalimat buruk apa yang akan terucap dari mulut sang Raja, apapun itu ia tidak siap. "Ayah... jangan membuatku takut! Ayah tidak apa-apa, bukan begitu?" Gadis itu enggan melepaskan pelukannya, enggan pula membuka matanya, Virelia takut darah.
Raja Aegon menangis bukan main, jemarinya ia tautkan di rambut coklat berkilauan sang Putri. Ia membelai halus, mengusap sayang kepala Putri Virelia. "Maafkan Ayah, Virelia," Suaranya sendu terdengar serak dan sesak.
Bagaimana tidak, dirinya merasa telah gagal menjadi sosok Ayah yang semestinya dapat melindungi semua anak-anaknya. Orang tua mana yang berharap untuk kehilangan satu saja anaknya. Tidak ada, begitu pula Raja Aegon yang tidak menginginkan hal semacam ini terjadi.
Kini dua anaknya telah mati, menyisakan putri bungsunya seorang diri-Putri Virelia. Sungguh naas, seharusnya tahun depan adalah perayaan penobatan Pangeran Zwan sebagai raja baru. Sial, takdir sebegitu buruk menimpanya... Zwan yang malang.
Putri Virelia tidak mengerti, sedari dari ia terus bertanya-tanya. Ia kebingungan, hingga saat di mana ia menyadari bahwa kedua kakaknya tidak ada bersama rombongan. Kenyataan paling buruk terukir begitu saja di benaknya. Ayolah, ku mohon jangan.
Dengan memberanikan diri Virelia menatap mata sang Ayah, hati Virelia teriris, sorotnya terlihat begitu menyedihkan. "Katakan," Gadis itu meremat pundak sang Raja, berusaha menyangkal pikiran buruknya.
"Ayah tidak bisa melindungi kedua saudaramu, Virelia. Mereka gugur,"
Dan pada akhirnya, Virelia lagi-lagi dibuat tak berdaya, ia tidak dapat berkutik. "Jangan berbohong, Ayah!" Peringatnya lemas, air mata sudah siap meluncur jika saja Raja Aegon mengucap satu lagi kata seperti, ya atau semacamnya.
"Maaf... Ayah berjanji akan selalu melindungimu, nak." Raja Aegon berduka, giginya gemeletuk menahan lara. Sambil mengusap lembut wajah bersih Virelia, Raja menatap mata putrinya dengan sungguh-sungguh "Seumur hidup Ayah."
Suara tangisan Putri Virelia memecah keheningan malam di istana. Suaranya menggema, membuat sakit siapapun yang mendengarnya. Lagi, ia memeluk erat tubuh Raja Aegon, menumpahkan segala bentuk kesedihan yang ada malam itu.
Pasukan ksatria dan pelayan yang sedari awal menyaksikan percakapan antara anak dan ayah itu, tentu ikut merasakan kesedihannya. Lagi pula sepantasnya mereka berkabung, bukan hanya Aegon yang kehilangan anaknya. Namun, Rakyat Aetherya yang juga kehilangan dua Pangerannya.
Berita kematian tersebar begitu cepat, selama berhari-hari pula Negeri Aetherya dalam kondisi berkabung. Rakyat bersedih, mereka ikut merasa kehilangan. Selain itu, banyak juga rasa simpati rakyat terhadap Putri Virelia. Pasalnya, rakyat tahu betul kedekatan antara Putri Virelia dan kedua saudaranya.
Bukan hanya sekedar berita kematian, berita perdamaian dengan Kerajaan Dravemor pun merebak tak kalah gegernya. Mulai dari negeri tetangga hingga sebrang dibuat tak percaya dengan pemikiran serupa.
Namun, pemikiran semacam itu dipatahkan begitu saja ketika Kerajaan Dravemor membuka pintu gerbang bagi Kerajaan Aetherya untuk acara makan malam megah, hanya selang beberapa bulan setelah pertempuran berakhir.
Perjanjian ditandatangani di atas lembar kain berbahan kulit khas kerajaan, diukir dengan tinta merah simbol darah yang telah tumpah. Kini, keduanya sepakat untuk menyudahi permusuhan yang selama ini terjalin.
Mereka menyadari bahwa terlalu banyak korban dari kedua belah pihak. Semua sengsara, mereka sama-sama tersiksa. Keduanya tidak bisa terus berjuang untuk memenuhi ambisi dan kebencian para leluhur. Mereka tidak bisa lagi menghancurkan masa depan generasi berikutnya. Penderitaan yang tiada akhirnya, kini dapat berakhir juga.
Namun, di dalam hati masing-masing dari mereka masih terbayang gelayut kelam masa lalu. Akankah perdamaian ini bertahan selamanya? Atau hanya berupa kedamaian sesaat untuk kehancuran yang lebih besar?
Seperti kataku... tidak perlu berekspektasi tinggi untuk ceritaku :v ha!
KAMU SEDANG MEMBACA
Isolde Virelia
Fantasy[Fantasy-Romance] *BUKAN TRANSMIGRASI Di tengah kedamaian antara Kerajaan Aetherya dan Dravemor, dua jiwa yang tak seharusnya bertemu dipertemukan oleh takdir. Virelia, sang putri dari Aetherya, menjalani hidupnya dengan tanggung jawab dan kewajiban...