Harapan Wanita Patah Hati

0 0 0
                                    

HARAPAN PEREMPUAN PATAH HATI

BY ITSYAASS
.
.
.
.
.
.
.
.

“Gue capek deh” perkataan dengan nada ceria itu terlontar dari bibir seorang Wanita dewasa, usia menginjak akhir 26 tahun itu, dengan senyum secerah Mentari. Tanpa sendu, tanpa sedih juga pilu, kata itu keluar dari Pelangi yang terlihat di wajah cantiknya.

Lawan bicaranya mengernyit, bingung dengan tingkah aneh Wanita yang ia sebut sebagai sahabatnya itu. 

“Bagus banget lo, begitu? Ngomong capek tapi wajah cerah begitu. Siapapun nggak akan ada yang percaya.” Temannya geram. 

“Memang kalau capek harus dengan sendu yang selalu memeluk ya? Rasa capek orang kan ukurannya beda.” Satu-satunya yang meyakinkan sahabatnya kalau Wanita ini memang tengah lelah, hanyalah hembusan berat nafas, diakhir katanya. 

“Ya pikir aja deh sendiri..” sahabatnya itu melenggang pergi, meninggalkan sang Wanita yang diam-diam melunturkan senyum diwajahnya. Sebelum beberapa saat Kembali, akibat seorang balita menghampirinya, lalu memeluk kaki.

“Mama, aku sudah” balita itu menatap Wanita tadi dengan tatapan polos, dibalas dengan tatapan dalam dari Wanita yang disebut Mama. Wanita itu meneliti, sebelum senyumnya Kembali melebar. Ia benar-benar lelah sekali. 

“ayo pulang!” suara lain dari sahabatnya bersahutan dengan rengekan tak terima dari seorang anak laki-laki berusia 4 tahun, tak terima kalau permainan harus dihentikan. 

Wanita tadi hanya tersenyum, mulai menggandeng anaknya menuju jalan pulang. Jalan yang rasanya membosankan sekali untuk dilalui pulang. 

*****

“Aku, capek deh” Wanita tadi bicara dengan nada sama, senyum yang sama juga cerah yang sama. Pada lawan bicara yang berbeda, kali ini seorang lelaki. Usia sekitar 29 tahun, duduk disebelahnya dengan ponsel yang digenggam dan ditatap intens. 

“Aku capek banget” pengulangan kata dengan nada suara yang dinaikkan sedikit. Sebab, perkataan pertama masih belum ia dapatkan jawabnya. Si lelaki masih enggan menjawab. Membuat Wanita menghembuskan nafas, lelah rasanya. 

Lelaki itu menoleh, menatap dengan cengiran khasnya. “Kenapa sayang? Maaf engga kedengaran tadi.” Satu kata yang terasa mengganggu di telinga Wanita. Dengan perasaan jengkel setengah mati ia bangkit.

“Kenapa sih? Gitu aja marah.” Lelaki itu menahan pergelangan tangan Wanita. Membuat si Wanita memaksakan senyum dan melepaskan perlahan lengan yang melingkar ditangannya.

“Engga, lanjutin aja..” hanya kata itu, si Wanita terlalu lelah untuk menanggapi lebih. Ia pergi meninggalkan si lelaki dengan perasaan hampa dalam dada. 

Ia rebahkan lelah yang terasa lebih mengganggu akhir-akhir ini, di atas dipan yang terlapisi Kasur empuk. Si Wanita mulai terlelap, dengan posisi yang miring. Dalam benaknya, sudah tersusun bayangan indah dari si lelaki yang tiba-tiba masuk kamar dan memeluknya erat. Membiarkan ia meluapkan apa yang terasa mengganggu hatinya, dan berakhir dengan mereka bercinta dengan hebat. 

Tapi, hingga pukul 2 dini hari. Si lelaki masih belum Kembali. Menyisakan si Wanita yang masih, saja menunggu diam-diam. Sadar semua pikirannya hanya akan menjadi angan belaka, Wanita hanya memilih tidur. Menjemput mimpi yang rasanya lebih indah dari kenyataan yang selalu mencekiknya setiap waktu. 

Malam itu, dengan hening yang mengikat. Ia terlelap dengan jejak air mata seperti biasa. Entah pada pukul berapa si lelaki memutuskan untuk tidur. Ia sudah tidak perduli lagi. Lelahnya sangat terasa hebat, dan ia sama sekali tak memiliki siapapun untuk berbagi. 

Di dunia yang ramai, dia punya semuanya. Ibu, sahabat, suami dan juga seorang anak, tapi ia terasa sendirian. Menghadapi lelah yang kian lama kian menggerogoti.

***** 

“Bu, aku kaya capek banget deh!” Wanita mengunjungi sang ibu, berharap memiliki pencerahan atas rasa lelah yang kian hari terasa kian mengganggu itu.

“Sholat yang bener!” Wanita kaget, tak mengira apa yang ibunya katakan. Ia pikir, kata penyemangat akan ia dengar. Tapi, rasanya ia terlalu berharap lebih.

“E-eum…” Wanita masih tidak memiliki jawaban, meski sudah bermenit-menit berlalu. Jawban apapun rasanya tak cocok untuk menanggapi ucapan sang ibu. 

Hingga waktu yang entah berlalu berapa lama, Wanita hanya diam. Tak berani memulai pembicaraan pada sang ibu, yang sialnya malah membuat ia merasa lebih lelah dari kemarin.

**** 

Wanita itu duduk diam, di sebuah kursi taman di dekar rumahnya. Sambil menatap sang Anak yang masih asyik menaiki perosotan berwarna biru. 

Dulu, ia bersinar dengan cahayanya sendiri. Berjalan dengan kedua kaki yang kuat dan kokoh, menatap dunia dengan kepercayaan diri yang tinggi. Tapi kini, rasanya semua yang ia lalui dulu tak berarti. Karirnya dipaksa redup, saat tengah bersinar terang. Langkahnya dihentikan paksa, oleh sebuah rasa yang biasa disebut sebagai kodrat, tatapannya mulai meredup seiring berjalannya waktu. Wanita itu merintih, rasa sesak menghampiri tiba-tiba. Membuat ia meraba sebelahnya, berusaha mengambil botol air. 

Terasa semakin menyesakkan, ia merunduk memegang dadanya. Sakit sekali rasanya. 

Tak pernah memiliki harapan yang muluk, Ia hanya ingin berbagi. Lelah yang ia rasa, kian hari seperti kian menggerogoti hatinya. Sedih yang menggantung, selalu ia simpan rapih sendirian. Seumur hidupnya dituntut untuk selalu melaksanakan kewajiban. Tapi, sehari saja tidak pernah ada yang menanyakan bagaimana keadaannya.

Dia memiliki beberapa orang penting dalam hidup, tapi rasanya, di saat seperti ini ia sendirian. Memeluk sakit yang kian lama kian menggigit. Sebelum kegelapan menjemput, ia melihat anaknya berlari ke arahnya. Menangis seraya memanggilnya dengan pilu. 

Ia lelah, dan saat ini. Tuhan yang maha pemurah itu mendengar do’anya untuk istirahat sejenak. Ya, Tuhan memberikan kesempatan Wanita itu istirahat dari hidupnya. 

***** 

Tangisan kehilangan memang selalu memilukan, tapi tak pernah bertahan lama. Wanita itu istirahat, dari peliknya hidup yang ia rasakan. Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjadi teman di syurganya. Semua orang berkabung, tak merasa bahwa waktu ternyata berlalu terlalu cepat untuk mereka menyadari sesuatu. 

Sahabat menangis meraung, memaki sang lelaki sebagai suami yang jahat. Tak pernah mengetahui apa yang dirasakan istrinya. Sedang sang lelaki, meraung menangis memanggil nama sang istri yang malah terdengar sangat indah saat sudah tiada, menyesali setiap detik yang ia sia-siakan untuk istri yang ia begitu cinta. Sedang sang ibu menangis tersedu, kerap kehilangan kesadaran, tak pernah menyadari bahwa anak yang kelewat ia sayangi itu, berjuang sendirian. 

Ya, semua berkabung hari itu. Mengantarkan sang Wanita dengan tangis pilu, pada tempat peristirahatan terakhirnya. Semua orang menangis, tapi jasad Wanita itu tersenyum. Sama seperti pertama ia mencoba bicara tentang kelelahannya pada sang sahabat. Cerah, indah dan bercahaya. Sebab ia sudah tidak sendirian lagi. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kumpulan Cerpen; Sebuah PersembahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang