CHAPTER 10 : Pahlawan Desa

4 3 2
                                    


Seorang pria paruh baya dengan wajah penuh syukur meraih tanganku dan berkata, "Terima kasih, Penyihir yang mulia! Anda telah menyelamatkan kami semua dari kehancuran. Desa ini berhutang nyawa kepada Anda!"

"A-aha, sama-sama... eh, maksudku, senang bisa membantu." Aku berusaha tersenyum dan menjaga sikap formal, tetapi dalam hatiku, aku merasa canggung. Sorakan dan pujian terus berdatangan, dan mereka semakin mendekat, mengelilingiku dengan rasa kagum dan hormat. Seorang ibu tua bahkan menyodorkan roti hangat, menyebutnya sebagai 'tanda terima kasih desa'. Aku menerima roti itu dengan tangan gemetar, merasa tersanjung sekaligus tertekan.

Kepala desa yang mengenakan jubah usang tetapi rapi berjalan mendekat, tersenyum bijaksana. "Anda sungguh pahlawan, Nona Penyihir. Kami tidak tahu harus bagaimana membalas jasa Anda."

"Oh, tidak perlu, sungguh! Saya hanya kebetulan lewat..." jawabku dengan senyum yang kupaksakan tetap tenang. Namun, aku merasa semua mata tertuju padaku, seperti aku tokoh utama dalam sebuah festival yang tak pernah kubayangkan.

Dalam hati, aku hanya ingin cepat-cepat pergi dari keramaian ini, tetapi aku tahu bahwa mereka memandangku dengan rasa terima kasih yang begitu besar. Aku tak punya pilihan selain bersikap formal dan mencoba tetap berada di tempatku. "Eh, senang bisa... membantu, tentu saja," kataku sambil mengangguk kaku.

Di tengah keramaian itu, seorang anak kecil menarik jubahku. "Nona Elf Penyihir! Ajari aku sihir hebat seperti yang kau lakukan tadi!" katanya dengan suara yang penuh harap.

Aku tersenyum kikuk dan mengacak-acak rambut anak itu. "Suatu hari, mungkin, kalau kamu bekerja keras dan belajar banyak. Tapi untuk sekarang, pastikan kamu tidak mendekati tawon besar lagi, ya?" ujarku sambil tertawa kecil, dan anak itu mengangguk dengan wajah ceria.

Penduduk desa terus memberondongku dengan pujian dan ucapan terima kasih, sementara aku berusaha menjaga ekspresi tetap tenang, meski dalam hati ingin sekali menghilang dari tengah keramaian ini. Pikiranku terus berkecamuk, memikirkan alasan apa yang bisa kuutarakan agar bisa segera meninggalkan desa ini tanpa menyinggung perasaan mereka.

Akhirnya, setelah beberapa lama, kepala desa berseru, "Mari kita rayakan penyelamatan desa ini! Kami akan menyiapkan pesta besar untuk menghormati Penyihir pemberani kita!"

Wajahku langsung memucat mendengarnya. "Ah, tidak, sungguh, tidak perlu, Pak Kepala Desa..." jawabku terbata-bata, berusaha mencari alasan agar bisa pergi.

Namun, saat melihat betapa antusias dan gembiranya mereka, aku tak kuasa menolak. Dalam hatiku, aku mengeluh karena harus menghadiri pesta dadakan ini, tetapi tak ada pilihan selain tetap tinggal di desa ini sedikit lebih lama.

Sambil berusaha menyembunyikan kecanggungan, aku hanya bisa berharap bahwa pesta ini akan segera selesai. Meski begitu, melihat senyum warga desa yang kembali aman, aku tahu bahwa perjuanganku hari ini tidaklah sia-sia.

Ketika pesta mulai, desa yang sederhana itu berubah ramai dengan tawa dan musik. Penduduk desa menyiapkan hidangan terbaik mereka, sop kaldu yang harum, daging panggang yang menggiurkan, dan kue manis yang ditaburi gula halus. Semua berkumpul, tertawa, dan bercerita seolah tidak ada lagi beban di hati mereka.

Aku duduk di antara keramaian dengan roti hangat di tangan, berusaha menyembunyikan kegelisahanku di balik senyuman. Anak-anak berlari riang di sekitar, sesekali mendekat hanya untuk memandangiku dengan mata penuh kekaguman. Seorang ibu membawa nampan penuh anggur lokal, menyodorkannya kepadaku. "Ini anggur terbaik desa kami, Penyihir yang mulia. Silakan, untuk melepas lelah."

Dengan sopan, aku mengangguk dan menyesap anggur itu, merasakan rasa manis dan sedikit asam yang khas. Anggurnya enak, dan akhirnya aku merasa sedikit lebih santai. Di tengah suasana meriah, aku bisa merasakan sedikit kedamaian mengalir di hatiku, setidaknya untuk beberapa saat.

Echoes of Eternity : The Journey of FreinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang