77. END

6.8K 405 94
                                    

Happy reading

-

-



Lima hari setelah kepergian Lara, perasaan Karang tak kunjung membaik. Dunianya terasa sangat hampa. Yang ia lakukan hanyalah menjalani hidup dengan masalah yang masih membuatnya terombang-ambing tanpa jeda. 

Siang ini, Jakarta diguyur hujan gemercik kecil setelah hujan badai tadi. Untuk kesekian kalinya, Karang berkunjung ke lapas untuk membezuk Ayahnya yang sudah di vonis penjara 35 tahun. Pembunuhan berencana adalah tindakan keji karena merampas nyawa orang lain. Lalu kekerasan yang Karang alami bertahun-tahun kini benar mendapatkan keadilan meski tak sepadan dengan rasa sakit dan traumanya.

Di lorong yang dijaga ketat oleh keamanan itu, Karang berjalan dengan Alena yang mendampinginya. Gadis iu merasa pedih saat harus melihat Karang dengan wajah pucat dan tak memiliki tenaga itu di setiap harinya. 

Dengan mantap ia meraih tangan kekar Karang niat meyakinkan pemuda itu. 

Karang menoleh menatap Alena. Disambut senyuman tipis dan anggukan kecil seolah mengisyaratkan bahwa Alena akan melindunginya. Sejujurnya, ada rasa takut saat Karang mencoba berkali-kali menemui Ayahnya. Namun David juga selalu menolak untuk bertemu. Untuk kali ini dia mengkonfirmasi menerima kunjungan.

Ditemani Alena, sang kakak angkat yang bertahun-tahun sembunyi untuk melancarkan penangkapan orang yang telah membesarkan sekaligus membunuh kedua orang tuanya. 

Gadis itu sudah lebih dulu mengobrol dengan David.  Meski tidak bisa mengembalikan kedua orang tuanya, Alena  berusaha menerima segalanya. Dengan segala pengkhianatan David pada keluarganya, jauh dari itu Alena masih bisa merasakan baiknya keluarga David yang membantu keluarganya saat susah.

Rasa sakit masih ada, semua terbalas namun tak sepadan memang dengan kehilangan nyawa dua orang tuanya.

Kini keduanya sudah duduk di ruang kunjungan yang dibatasi dengan kaca kedap suara. Dengan pandangannya yang kosong, Karang sama sekali tak berkutik saat melihat David yang masuk dalam ruang seberang sana dengan wajahnya yang arogan seperti biasanya.

Begitu keduanya duduk saling menghadap, David meraih gagang telepon dan memberi isyarat memerintah Karang untuk menerima obrolan mereka.

Tidak memutuskan pandangan, Karang ikut mengangkat juga. Memandang lurus tak berharap apapun bahkan sekedar permintaan maaf saja.

David mengambil nafas panjang. "Maaf..." ucapnya  dengan bibir bergetar.

Karang masih tak berkespresi apa pun, dalam dadanya ia merasa sesak bukan main. Setelah sekian lama, ia baru mendapatkan permintaan maaf pertama kali dari Ayah yang selama ini menyiksanya.

Kantung mata yang menghitam itu perlahan basah dengan air mata yang jatuh. Entah, bukan perasaan lega tapi ia merasa dirinya sedang melakukan interaksi normal antara Ayah dan anak. 

Ada jeda di antara mereka. Mata David mengedar seakan sedang menghindar tatapan lurus Karang yang mengintimidasi. Mencoba mengambil nafas berkali-kali menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis.

David arogan tetap ada.

"Saya meminta maaf mungkin tidak bisa mengembalikan rasa sakit kamu, tapi sudah benar saya renungkan berhari-hari. Saya salah. Saya bukan ayah yang baik untuk kamu. Maaf, maaf karena membuatmu menderita selama ini," ucapnya.

Karang masih bergeming. Perlahan, bibir pucat keringnya terbuka. "Meski tidak mengubah apapun, Karang terima permintaan maaf Ayah. Ayah harus menembus dosa keji itu di seumur hidup Ayah," ucapnya lirih.

Sea For Blue Whales [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang