Hari libur seharusnya menjadi waktu bagi keluarga ini untuk bersantai, menikmati waktu bersama tanpa gangguan. Tapi suasana rumah tetap terasa tegang. Setiap langkah di bawah pengawasan, setiap kegiatan harus melalui izin Ayah dan Bunda. Walau banyak aturan, ketiga gadis ini sudah terbiasa dan berusaha menikmatinya.
Di ruang keluarga, Pharita sedang menunggu kedatangan Ruka. Dia perlu bantuan untuk penelitian yang cukup penting dan Ruka harus datang langsung ke rumah, bukan sekadar bertemu di kampus atau tempat umum. Setiap teman Pharita, termasuk Ruka, harus melalui protokol serupa. Berbicara langsung dengan Ayah dan Bunda, menjelaskan tujuan kunjungan mereka dengan serius, dan menunjukkan bahwa semua demi pendidikan.
Ketika Ruka tiba, Ayah dan Bunda memanggilnya ke ruang tamu. "Jadi, kamu ini teman kuliah Pharita?" Ayah bertanya sambil mengamati Ruka dengan tatapan penuh penilaian.
"Iya, Pak" jawab Ruka dengan sopan, dia sudah tahu reputasi keluarga ini. Semua harus jelas tujuannya, tak boleh ada kesan main-main.
Bunda menatap Ruka dengan senyum kecil, tapi matanya waspada. "Kalian mau melakukan penelitian apa, Pharita?"
"Ini soal pengembangan laporan keberlanjutan, Bun. Kami perlu kumpulin data dari berbagai sumber terus menganalisisnya," jawab Pharita, suaranya mantap tapi penuh harap agar kali ini izin bisa mulus.
Setelah penjelasan panjang lebar, Ayah akhirnya mengangguk pelan. "Ya sudah, Ayah izinkan," katanya. Pharita menghela napas lega, sementara Ruka tersenyum, berusaha menenangkan suasana.
"Tapi jangan pulang larut ya, Kak. Ruka, Bunda titip Pharita." ucap Bunda tegas, memastikan semuanya terkendali.
"Iya, Bu" jawab Ruka, menatap Pharita dengan senyum meyakinkan.
Setelah obrolan serius itu, suasana sedikit mencair. Pharita dan Ruka beralih ke ruang kerja, duduk bersama sambil mempersiapkan materi penelitian mereka. Di sela-sela kesibukannya, Rora menghampiri Ayah dan Bunda yang sedang berbincang di ruang keluarga.
"Ayah, Bunda, aku mau izin ke toko buku. Ada beberapa buku yang perlu aku beli buat tugas," ujarnya. Ayah menatap Rora sejenak sebelum mengangguk kecil, meski wajahnya tampak berpikir.
"Ke toko buku? Kamu tahu kan, Ayah sama Bunda lagi sibuk hari ini." balas Ayah dengan nada ragu. "Jadi, siapa yang bakal ngantar kamu?"
Rora menarik napas panjang. "Ayah… aku bisa sendiri kok, kan ada supir juga." pintanya.
Ayah menggeleng, ekspresinya tegas. "Gak bisa, Ayah gak izinin kalau begitu." katanya tanpa kompromi.
"Ayah..." Rora mencoba membujuk sekali lagi, berharap bisa mendapat izin.
Ayah tetap menggeleng, menunjukkan ekspresi tak tergoyahkan. Kebetulan, saat itu Ahyeon melewati di ruang keluarga, sepertinya juga akan pergi keluar hari ini.
Bunda menatap Ahyeon sesaat, kemudian memanggilnya. "Ahyeon, kamu mau kemana?" tanyanya.
Ahyeon mengerutkan kening. "Loh? Semalem aku kan udah izin sama Ayah, mau nonton hari ini." jawabnya, sedikit bingung.
"Ke Bunda udah izin juga?" sahut Bunda, nada suaranya menuntut penjelasan.
Ahyeon menghela napas, merasa percakapan ini mulai memakan rencananya. "Ahyeon izin buat keluar hari ini, Bun."
"Diizinkan, tapi temenin Rora ke toko buku dulu," ujar Bunda dengan nada tak terbantah.
Ahyeon menghela napas, mencoba mencari alasan. "Tapi Bun, aku udah punya janji…."
Ayah tiba-tiba menyela, suaranya penuh ketegasan. "Rora perlu ke toko buku. Kamu bisa antar dia dulu, baru lanjutkan rencanamu. Tidak sulit, kan?"
Ahyeon merasa frustasi, tapi akhirnya menyerah. "Yaudah, aku temenin Rora."
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadly Silent
Non-Fiction"Setiap keluarga punya rahasianya, tapi tidak semua rahasia bisa disembunyikan selamanya." Pertanyaannya hanya satu, kapan? Dan saat waktunya tiba, apa yang akan tersisa dari keluarga yang telah dibangun di atas pondasi kebohongan?