Ahyeon bergegas menuju kelasnya, mencoba menahan kekesalan yang masih terasa akibat obrolan pagi di meja makan. Suasana di rumahnya yang selalu tegang dan penuh aturan membuatnya nyaris kehilangan semangat setiap kali ia harus pergi ke sekolah. Begitu sampai di gerbang sekolah, Ahyeon bertemu dengan beberapa teman dan rekannya, namun dia hanya menyapa mereka dengan anggukan kecil sebelum langsung berjalan masuk ke dalam ruang kelas.
"Ahyeon, sini bentar!" panggil teman sebangkunya dengan nada suara rendah namun penuh ketegangan. Wajahnya menunjukkan keprihatinan yang sulit disembunyikan.
"Kenapa, Rami?" Ahyeon mengerutkan kening, matanya memandang penuh kebingungan.
"Jaehyun... dia udah balik lagi," bisik Rami, suaranya bergetar seakan takut seseorang akan mendengar mereka. Matanya terus mencari-cari di sekitar, memastikan mereka tidak diawasi.
Ahyeon terdiam sejenak, detak jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Dia menggigit bibirnya, menahan perasaan panik yang mulai menyusup. "Jadi aku harus gimana sekarang?" bisiknya cemas.
Rami menatapnya simpati, namun sebelum bisa menjawab. Asa, yang duduk di belakang mereka menyarankan dengan nada serius, "Ahyeon, kamu harus cari orang yang bisa ngejaga kamu. Mungkin, kalau dia tahu kamu udah punya pacar, dia bakal berhenti ngejar kamu."
Ahyeon menggeleng pelan dan menghela nafas. "Gak gitu caranya, Asa. Ini masalah gak bakalan selesai kalau cuma begitu."
Eunsoo, yang duduk di samping mereka, mencoba mencairkan suasana tegang di sekitarnya. Dia tersenyum cerah, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Ahyeon. "Gimana kalau aku kenalin kamu sama seseorang? Siapa tahu bisa bantu," ucapnya dengan nada ceria, berharap bisa meringankan beban yang dirasakan Ahyeon.
Ahyeon menatap Eunsoo dengan curiga, memicingkan mata. "Seneng banget kayaknya. Jangan-jangan kamu mau bikin rencana aneh?"
"Aku? Gak, kok!" Eunsoo mengedipkan mata sambil tersenyum lebar, nada suaranya penuh godaan yang semakin membuat Ahyeon tak percaya.
Ahyeon memalingkan wajah, pandangannya jatuh ke jendela kelas yang memantulkan bayangan dirinya yang terlihat lelah. Dalam hati, ia bergumam lirih seolah berbicara pada dirinya sendiri, "Di mana aku bisa nemu tempat buat bernapas lega? Satu tempat aja... yang bikin aku merasa aman dari semua ini."
Tak lama kemudian, Bu Jimi, wali kelas 12.2 memasuki ruangan. Wajahnya tegas dan langkahnya mantap, membuat setiap siswa di kelas langsung terdiam, tenggelam dalam suasana disiplin yang seketika terbentuk. Aura ketegasannya ditambah dengan postur tubuh yang tegap berhasil menciptakan suasana hormat yang membuat semua murid terkesima.
Setelah menatap mereka dengan serius sejenak, wajah tegas Bu Jimi perlahan melunak, berubah menjadi senyuman kecil yang hangat. "Ahyeon," panggilnya lembut sambil memandang gadis itu. "Gimana, surat izin dari orang tuamu sudah ditandatangani belum?" tanyanya, nada suaranya jauh lebih lembut dari yang diharapkan.
Ahyeon menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab, sambil memaksakan senyum kecil di wajahnya. "Kayaknya aku harus mundur lagi dari lomba kali ini, Bu."
Bu Jimi menatapnya dengan sorot mata penuh simpati. "Sayang banget, Yeon. Coba dulu aja ya? Nanti, setelah kelas selesai, kamu ke ruangan Ibu ya? Mungkin kita bisa cari solusi bersama." ucapnya, dengan nada yang tak lagi menghakimi, melainkan penuh pengertian.
Ahyeon hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia sudah pasrah. Di sekolah, namanya sangat dikenal, bahkan dia pernah menjadi ketua OSIS dengan deretan program kerja yang hampir semuanya terlaksana dengan sukses. Sayangnya, Ahyeon terpaksa mundur dari banyak hal yang disukainya karena masalah kesehatannya. Seiring waktu, kinerjanya pun menurun, dan setiap kegiatan yang dia ikuti terasa semakin berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Deadly Silent
Não Ficção"Setiap keluarga punya rahasianya, tapi tidak semua rahasia bisa disembunyikan selamanya." Pertanyaannya hanya satu, kapan? Dan saat waktunya tiba, apa yang akan tersisa dari keluarga yang telah dibangun di atas pondasi kebohongan?